Hallo kalian..
!!!
Jika pada kiriman-kiriman sebelumnya saya membahas tentang sejarah yang
terdapat di Monumen Pancasila Sakti, kali ini saya akan bercerita yang mungkin
masih ada kaitannya dengan sejarah tapi dari sisi yang berbeda.
Sebenarnya saya sudah tidak asing dengan Monumen Pancasila Sakti yang berada di
kawasan Lubang Buaya. Tapi bagi kebanyakan orang yang tinggal berdekatan dengan
tempat bersejarah tersebut akan sedikit bertanya-tanya, “Ngapain sih, lu demen
banget bolak-balik ke sana?”, jika teman saya yang bosan dengan kawasan
tersebut saya ajak memasuki wilayah museum yang ada di dalamnya.
Saat kita memasuki gerbang bertuliskan Monumen Pancasila Sakti, kita masih akan
menempuh jalan panjang dipenuhi pepohonan rimbun di salah satu sisi jalan yang
akan mengantarkan kita pada tujuan di mana museum dan tempat bersejarah
tersebut berada.
Pada pagi atau sore hari, terlebih saat akhir pekan, maka kita akan mendapati
banyak penjaja jajanan yang berbaris di sekitar gerbang, dan jika pagi akhir
pekan tiba maka lapangan area parkir akan berubah menjadi pasar dadakan yang
berwarna-warni dan dipenuhi banyak pengunjung. Tapi sayangnya, pengunjung hanya
bertujuan ke lapangan parkir. Tak ada minat lebih untuk memasuki lebih dalam ke
area bekas rumah penyiksaan, sumur maut, maupun museum.
Baiklah, karena dikenal sebagai tempat yang memiliki aura mistis yang sangat
kental di kawasan museum, suatu hari saya dan teman saya memberanikan diri
untuk datang ke Museum Pancasila Sakti saat sore hari yang kemungkinannya pasti
sudah sepi pengunjung. Karena saat itu kantor saya masih berada di kawasan yang
sama dengan daerah Lubang Buaya, saya dan teman saya menuju lokasi selepas
pulang kerja sekitar pukul lima sore.
Bagi teman-teman yang juga berada di daerah yang sama, pasti tak asing lagi
dengan kepadatan lalu lintas yang mengular dari Pangkalan Jati hingga Plaza
Pondok Gede. Dan walaupun terbilang dekat, nyatanya kami butuh waktu sekitar 20
menit untuk tiba di tempat yang kami tuju. Tentu saja gerbang masih terbuka
lebar, tapi kami masih harus melewati pintu masuk terlebih dahulu untuk membeli
tiket.
Karena jam kunjung sudah habis, sedikit kami berbasa-basi pada penjaga pintu
untuk memberikan kami ijin sebentar saja dan berjanji sebelum waktu Maghrib
tiba kami sudah akan kembali lagi ke pintu keluar. Kami pun diijinkan. Sudah
tak banyak orang yang berada di kawasan tersebut, hanya satu dua melintas,
mungkin memang penduduk sekitar atau orang-orang yang memang tinggal di dalam
kawasan museum. Tak ada lagi pengunjung kecuali kami.
Kami langsung menuju gerbang dalam. Sepi, tidak tampak ada seorang pun di sana.
Kami pun memasuki kawasan sumur maut, daun-daun kering berguguran berserak di
lantai. Suara angin sore terdengar lirih seperti menuntun kami untuk mendekat
ke arah saksi-saksi bisu yang tampak menyambut kami dengan malu-malu.
Saya dan teman saya berkeliling ke rumah-rumah bilik yang ada di sana. Masih
terawat memang, tapi kami ragu untuk mendekat. Bukan takut, tapi entahlah. Aura
di sana terasa sangat sesak berdesakan. Kalian pasti paham bagaimana rasanya
berada di tengah-tengah keramaian, kami merasakan hal tersebut dalam keadaan
sepi. Keramaian yang tak kasat mata.
Dalam waktu yang
tidak lama, kami benar-benar merasakan keramaian. Ramai seperti sibuk sekali.
Kami sudah tak peduli lagi dengan keadaan sekitar, kami terus penasaran dengan
keramaian yang justru berasal dari rumah yang berada di sebelah rumah penyiksaan.
Kalian harus pahami bahwa kami tidak cukup berani untuk melihat atau sengaja
melihat ke arah rumah penyiksaan yang dipenuhi oleh patung-patung yang tampak
hidup tersebut.
Di sebelah rumah penyiksaan tersebut, sayup-sayup seperti kami mendengar suara berbincang dari dalam rumah. Dengan niat yang teguh, kukuh, berlapis baja
ingin mengetahui tentang apa yang terjadi di dalam sana, kami pun mendekat.
Tapi sayang, keadaan memang benar-benar sepi. Kosong. Hanya kita berdua yang
diapit keramaian yang tak tampak.
Akhirnya kami berkesimpulan bahwa suara tersebut adalah suara angin yang meniup
rimbun dedaunan yang mungkin saja jatuh menyentuh genting-genting atap rumah
atau terjatuh menyapu dinding bilik rumah. Mungkin.
Tapi kemudian semua itu hanya menjadi angan kami saja untuk menenangkan
kegundahan kami yang masih penasaran. Kembali kami dikejutkan oleh sapuan angin
yang membuka satu sisi daun jendela. Kami beranikan diri melihat ke arah dalam
rumah. Sungguh, kami tidak sanggup. Teman saya terus merapalkan ayat-ayat yang
mampu membentengi kami. Saya pun terus memohon untuk meminta mereka agar tidak
dan jangan datang dengan kejutan-kejutan yang saya tidak siap. Hingga akhirnya
kami pun bergegas keluar menuju pelataran dengan bayangan seorang wanita berkebaya di sudut mata kami. Tapi kami hanya mengabaikannya.
Lagi-lagi, kami tidak langsung bergegas pulang, tapi ada sesuatu yang menarik
perhatian kami, yaitu celah kecil di ujung lapangan yang menuju ke bawah.
Dengan melintasi lapangan, kami menuju celah kecil yang di baliknya tampak
seperti alam terbuka di balik kawasan monumen tersebut. Rupanya celah
menyerupai gerbang kecil tanpa daun pintu tersebut ada tangga turun yang menuju
halaman luar kawasan monumen.
Suasana sudah benar-benar sepi, langit sudah tampak pendar gelap menuju malam. Dari
tangga tersebut tampak bangunan yang tidak terlalu baru tapi sudah kotor. Yang
saya lihat seperti dipenuhi oleh asap hitam. Saya pikir itu adalah asap sisa
pembakaran sampah oleh warga sekitar yang berada di luar kawasan museum. Tapi
ternyata teman saya tidak melihatnya. Yang saya lihat wajah teman saya berubah
menjadi pucat, dan entah apa yang terjadi saat saya ingin bergerak kaki saya
terasa tertahan. Saya tidak dapat bergerak.
Teman saya menarik tangan saya untuk membawa saya berlari bersamanya. Saya
masih terseok-seok menyeimbangkan tegaknya berdiri tubuh untuk bisa dibawa
berlari. Kaki saya terlalu lemah untuk menolak gravitasi dan melesat pergi.
Teman saya terus berlari tunggang langgang menjauhi area lapangan dan keluar ke
arah gerbang. Saya mengikutinya dengan langkah tertatih-tatih seperti ingin
mencium bumi.
Mungkin siapa pun yang memandang keadaan kami saat itu akan tertawa
terjungkal-jungkal karena betapa paniknya wajah kami. Kelakuan bodoh kami.
Sesampainya di area parkir, kami bertemu dengan seorang laki-laki yang sudah
tidak muda lagi tapi belum juga teramat tua. Kami mengiringi langkahnya,
berjalan beriringan dengannya dan berharap jika terjadi sesuatu, kami tidak
benar-benar sendiri, saya dan teman saya, tetapi ada orang lain yang mungkin
petugas museum.
Laki-laki tersebut tampak biasa saja walaupun kami tidak melihat seperti apa
tampak wajahnya, berpakaian serba hijau tua seperti penjaga tiket yang ada di
depan, kami pikir memang seragam dari angkatan. Kami berjalan sambil mengatur
napas agar tak lagi merasa oksigen berdesakan memasuki paru-paru, hingga
sampailah kami di halaman tempat kami memarkirkan kendaraan kami dan tak peduli
lagi dengan lelaki tadi. (haha oke, kita jahat)
Dengan rasa diburu janji yang akan kembali ke pintu keluar sebelum adzan
Maghrib berkumandang, kami pun bergegas meninggalkan kawasan museum dengan
perasaan tak menentu dan badan yang lemah lunglai. Ternyata, lelaki yang sama
seperti yang kami temui tadi sudah berada menunggu kami di pintu keluar. Rupanya
cepat juga langkah lelaki tersebut dibandingkan kita yang menggunakan
kendaraan.
Sambil menyapa penjaga pintu tiket, kami pun turut menyapa lelaki yang kami
temui tadi, “Hai Pak, Bapak yang tadi jalan bareng kita kan? Cepet banget udah sampai sini, lari ya Pak?”. Tapi lelaki
yang kami sapa dengan sebutan bapak tersebut tertawa sambil menjawab, “ Neng
ada-ada aja becandanya, bilang aja mau kenalan sama saya.”. Lalu tawa kami pun
lepas karena kami pikir lelaki tersebut hanya modus.
Kami pun berpamitan dan mengarahkan kendaraan kami ke Jl. Lubang Buaya menuju
Masjid At-Tin yang berada di kawasan Taman Mini Indonesia Indah guna
melaksanakan sholat Maghrib. Seperti biasa, kami lewat jalan belakang supaya tidak
terlalu macet, walaupun jalan yang kami pilih lebih sempit dibanding dengan melalui jalan pada umumnya.
Di sepanjang jalan menuju masjid, saya dan teman saya masih berbincang bercanda
sambil membicarakan hal-hal yang kami temukan di museum dan kebodohan kami yang
datang dengan tujuan yang tidak masuk akal. Lalu di tengah perjalanan, tetiba
kendaraan yang dikendarai oleh teman saya seperti menabrak sesuatu, seperti
seorang perempuan tapi sayangnya perempuan tersebut hanya diam dan tidak ada reaksi apapun selain menghilang
dari pandangan kami.
Teman saya lalu melambatkan laju kendaraan yang kami tumpangi senja itu, kami
mengecek apa yang terjadi. Tapi tak ada tanda-tanda apapun yang menandakan
bahwa kami baru saja menabrak seseorang. Lalu ketika kendaraan mulai melajukan kecepatan seperti semula, terdengar seorang laki-laki memukul kendaraan kami
sambil menghardik dengan kata-kata yang kami tidak dengar jelas. Tapi yang
pasti, kami hanya mampu melihat pada kaca spion.
Ternyata, bayangan di spion memantulkan cahaya remang lampu jalananan dengan
siluet laki-laki yang kami temui tadi saat ingin meninggalkan kawasan Monumen
Pancasila Sakti. Dan kami pun akhirnya memahami, bahwa lain kali kami harus
kembali lagi untuk meminta maaf dan tidak datang di saat yang tidak semestinya.
Terlebih kami adalah orang baru yang tidak terbiasa berada di antara mereka.
Sesampainya di masjid, selepas sholat kami hanya bisa termenung-menung
memikirkan hal yang baru saja menimpa kami sambil terus mengikuti bacaan-bacaan
ayat suci yang terdengar mengalun meramaikan masjid. Hingga selesai sholat Isya
dan melanjutkan perjalanan pulang, kami masih was-was merasa khawatir
seandainya laki-laki dan wanita misterius tersebut masih berada di antara kami.
***
Bagi teman-teman yang belum pernah berkunjung ke Monumen Pancasila Sakti, sangat dianjurkan sekali untuk lebih mengenal sejarah Bangsa Indonesia. Pada hari-hari biasa di jam kerja, tentu saja kawasan tersebut ramai oleh pengunjung terlebih jika akhir pekan tiba. Harga tiket pun amat terjangkau. Asal jangan berkunjung di luar jam operasional, karena pasti tutup.
Selamat berwisata sejarah !!!
***
Bagi teman-teman yang belum pernah berkunjung ke Monumen Pancasila Sakti, sangat dianjurkan sekali untuk lebih mengenal sejarah Bangsa Indonesia. Pada hari-hari biasa di jam kerja, tentu saja kawasan tersebut ramai oleh pengunjung terlebih jika akhir pekan tiba. Harga tiket pun amat terjangkau. Asal jangan berkunjung di luar jam operasional, karena pasti tutup.
Selamat berwisata sejarah !!!
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAssalamualaikum kak,, salam kenal ya,, saya sangat suka blog yg kakak buat,, apalagi yg membahas tentang Alm Pierre Tendean. Oh y, Zaman skrg bgini, jarang2 lho ada yg kyk kakak buat blog tentang Pahlawan Sejarah. hehehe...
ReplyDeleteSemangat terus ya kak menulisnya,, ditunggu update'tan selanjutnya.. hihihi..
sekali lagi salam Kenal ya kak :)
Hi Annisa .. salam kenal yaa !!!
Deleteterima kasih sudah berkunjung ke blog aku.. semoga bisabermanfaat yaa .. Terima kasih dukungannya .. salam ❤