Saya kenal anak ini beberapa bulan lalu, dia menambahkan saya dalam pertemanan di jejaring sosial, lalu memberanikan diri untuk bertanya tentang pahlawan idolanya kepada saya. Awal berkenalan saya merasa ada yang kaku membaca pesan darinya, mungkin karena dia menghargai saya sebagai yang lebih tua, jadi dia mengatur sedemikian baik tata tulisannya agar enak dibaca.
Setelah beberapa kali berbicara tentang latar belakang masing-masing, kita menjadi dekat. Kita biasa bercerita ini itu walaupun kami belum pernah bertemu. Cerita kita tentang segala hal, sampai hal yang tidak perlu dibicarakan-pun bisa kami bahas. Acara pengaturan tata bahasa, luntur seketika. - haha -
Singkat cerita setelah sekian lama kami berkenalan melalui percakapan dunia maya, anak ini berencana untuk datang ke Jakarta, dia tinggal di Jawa-Tengah. Maka saya menyempatkan diri untuk cuti dari pekerjaan dan menemui anak ini.
Pagi itu di Stasiun Gondangdia, dia menghubungi saya bahwa dia sudah menunggu. Beberapa menit lagi saya akan tiba di stasiun dimana yang telah kita tentukan untuk bertemu. Di ujung jendela itu, dia bersama dengan kawannya yang juga berkunjung ke Jakarta menyambut saya yang menuruni tangga peron. Dita, senyum dan keriangannya sama persis seperti yang sebelumnya sudah saya tau dari profilnya.
Kami berpeluk seakan sahabat lama yang terpisah jarak dan waktu (lebay), berkenalan dengan kawannya yang turut serta ke Jakarta - dan ternyata dari Amerika yang sekolah di Indonesia - Angela. Yah, dimulai lah hari ini kami menyusuri kawasan Menteng dengan berjalan kaki.
Dari awal tujuan kami adalah menelusuri jalan dimana pahlawan idola kami menghabiskan saat-saat terakhirnya, Jl. Teuku Umar. Kami bertukar cerita tentang beliau, berkhayal bahwa bisa saja sudut-sudut jalan yang sedang kami telusuri pernah menjadi tempat favoritnya. Khayalan sepertinya sudah menggusur kehidupan nyata kami, saat ini. Apalagi ditambah dengan suasana dan keadaan sekitar yang rimbun, sejuk, dan sepi. Saya dan Dita seperti sedang menyusuri lorong waktu, dan Angela mungkin sedang merasakan sensasi menggiring pasien RSJ. Yang kami tau, Angela terlihat senang-senang saja. Hihiii ..
Sesampainya di halaman rumah yang kami tuju, kami agak-agak takut karena terlihat sepi tanpa pengunjung. Penjaganya-pun tak nampak berjaga. Setelah masuk sampai di ruangan penjaga, baru kami disambut oleh penjaga yang sebelumnya asik menyaksikan siaran televisi.
Si bapak mengajak kenalan, bincang-bincang biasa, lalu kami dipersilakan masuk. Yahaa .. kami berada di Museum Jenderal Nasution.
Kami diceritakan seluk beluk bangunan tersebut, dari koleksi hingga spot favorit Pak Nasution. Segala bentuk penghargaan, lencana, hingga buku-buku karya beliau sungguh membuat kami bangga bahwa Indonesia memiliki seorang tokoh sehebat beliau. Dr.AH. Nasution.
Sebenarnya saya dan Dita asik dengan daya khayal kami masing-masing, dan sang pemandu-pun asik dengan incarannya, Angela. Sampai-sampai kami lelah dan duduk di bangku di ruang makan karena sang penjaga sibuk menarik perhatian Angela, dan Angela tetap tidak acuh. Kami diantar sampai dapur di bagian rumah utama saja. pintu belakang tertutup. Saat kami tanya kenapa tidak diantar kebagian belakang rumah, si pemandu bilang bahwa kita ke sana pun penampakannya akan sama seperti apa yang kita lihat dari dalam rumah *huft*. Oke, tak habis pertanyaan kami, apakah kami akan ke paviliun juga? ternyata tidak, si penjaga menjelaskan bahwa paviliun tersebut tidak bisa di buka, lampunya rusak, dan tidak ada yang menarik di sana. Lalu kami terdiam.
Sepertinya sang penjaga tidak berniat untuk mengantar kami ke tempat yang kami tuju. Tempat dimana pahlawan idola kami menghabiskan sore terakhirnya dengan bermain sepeda bersama puteri bungsu Sang Jenderal. Dan paviliun itu, tempat terakhir pahlawan idola kami bermimpi tentang masa depannya - mungkin-, tempatnya merangkai rindu, hingga tempatnya menuliskan kabar untuk keluarga dan orang tercintanya.
Karena kami masih ingin berlama-lama di dalam rumah yang kini sudah menjadi museum, maka sang pemandu meninggalkan kami. Sampai keadaan benar-benar sepi, kami akhirnya keluar dari rumah utama tersebut. Ketika kami menuju ke paviliun dimana tempat terakhir pahlawan kami tinggal, ternyata pintu paviliun terbuka, menganga sedikit, dan benar-benar bisa untuk dimasuki. Dengan hati-hati kami masuk paviliun tersebut, patung lilin pahlawan idola kami ada di sana. Dibuat semirip mungkin dengan kejadian saat beliau menghadapi para penculik. Gagah, berani, serta tampan (teteup).
Tibalah saat dimana kami melakukan hal gila, memandang takjub pada ketampanan (patung) sang pahlawan, memeluk, berfoto, dan jika memungkinkan pasti sudah kami gendong patung tersebut untuk kami bawa pulang. Melihat tingkah gila kami, Angela mengambil langkah tepat. Dia meninggalkan kami dan menuju ke rumah utama. Tinggallah saya, Dita, (patung) Pierre Tendean, dan beberapa patung lainnya yang tidak kami hiraukan keberadaannya. Tak sanggup kami meninggalkan tatapan Pierre Tendean yang teduh (lha, kan patung ?!), sampai kami menyadari bahwa kami disaksikan oleh kamera pengintai di sudut ruangan tempat kami menggila.
Dengan berat hati kami meninggalkan paviliun tempat diorama tersebut berada, masih dengan tatapan tak ingin meninggalkan Pierre Tendean yang dikepung oleh pasukan Cakrabirawa dan suasana mencekam pagi buta saat itu. Tapi dengan segala keberanian dan kegagahan Pierre Tendean, beliau gugur menjadi perisai Sang Jenderal, beliau juga menjadi inspirasi jiwa nasionalisme kami tetap subur di zaman yang telah tersentuh modernisasi.
Ternyata kami telah lama membiarkan Angela sendiri di tempat yang baru ia datangi ini. Saat kami menemukannya, ia sedang asik menulis jurnal di ruang kerja Pak Nasution, sendirian. Lalu kita memutuskan untuk menyudahi kunjungan kami di tempat ini. Bukan, bukan karena bosan, tapi kami lapar (heleh) :D.
Saat melewati pos penjagaan, kami melihat bapak penjaga menatap kami dengan senyum mencurigakan. Ah, pasti bapak itu telah menyaksikan adegan bodoh kami selama di paviliun melalui kamera pengintai. Dengan rasa tak tau malu, kami melenggang menuju gerbang dan membiarkan Angela yang pamit dengan penjaga museum tersebut (hehe, jangan dicontoh, yaa :D). Lalu kami-pun melanjutkan perjalanan hari itu dengan waktu perpisahan yang semakin mendekat, karena kami harus berpisah lagi :(.
Sungguh hari yang menakjubkan dimana saya bertemu dengan Dita yang sebelumnya hanya bersapa melalui sosial media, berkenalan dengan Angela - seorang darmasiswa dari Amerika - yang menakjubkan (dan saya ditraktir makan siang di restoran Vietnam ;D), serta dapat melihat dari dekat tatapan syahdu seorang Pierre Tendean (walaupun cuma patung). Saya selalu ingin untuk mengulangi kembali hari itu, hari bersamanya. Yang mungkin bila kami bertemu lagi, kita akan melakukan kegilaan lainnya. Saya suka, dan semoga kita juga bisa bertemu dengan cerita yang lebih seru.
Salam hangat ;)
Saya iri mbak hehe ^^ Tapi jujur liat poto di bawah saya jadi ketawa sendiri *sembari membayangkan patung itu benar-benar Pierre yang masih hidup (lalu membayangkan ekspresi nya)* kalau patungnya hidup gimana ya =))
ReplyDeletehehe .. betul mba Virgin. seru banget waktu itu. kita sampai gak rela untuk segera keluar dari ruangan patung diorama tersebut. patungnya saja sanggup membuat terpesona, bagaimana aslinya ^^,v .. lebih-lebih lagi kalau tiba-tiba patungnya hidup, kayaknya kita bakalan lari kocar-kasir deh ..*lol
Deleteoh ya, patung Pak Pierre ini bulu matanya kayak asli lho mba, lentik banget .. heheh
Oh ya?? :o Sepertinya sangat diperhatikan :D *piss
DeleteSayang alisnya kurang cetar sepertinya,hehe *saya suka alisnya ^^
Dan potongan rambutnya agak kurang rapih,mungkin hanya mengikuti dari satu poto nya saja (?)
Seandainya punya mesin waktu,pintu ke mana saja dan jubah tak terlihat,mungkin kita bisa mencegah kejadian ini #eh
Tapi tanpa kejadian ini beliau mungkin tak akan terkenal seperti ini sebagai pahlawan revolusi,mungkin tak akan ada postingan tentang beliau dan saya tak akan menulis komen ini :D
Semangat terus ya mbak nulisnya,terutama tentang Pierre Tendean :3 saya juga punya blog tapi masih ababil -_-" Dan saat ini saya sedang menulis fanfiction tentang Pierre dan Rukmini (saya gak tau akan seru atau tidak (dan gak tau kapan selesainya))
Terimakasih ya mbak atas info-infonya :D *aduhkepanjangan
Hai, Mba Virgin. maaf baru lihat komennya ..
Deletemungkin memang sudah takdir beliau ya jadi pahlawan tertampan, bahkan setelah sekian lama kegugurannya pun masih tetap banyak penggemar baru yang lahir jauh dari era-nya . kayak kita gini (sok imut) :D :D
siaapp, terimakasih banyak supportnya. tentu saja jika ada cerita baik akan penulis share untuk dapat dibaca dan diingat oleh siapapun yang rindu akan sosoknya.
Semangat juga tulis fanfict-nya yaaaa, semoga segera selesai. kabari aku ;)
Aq mau fanfictnya
ReplyDeleteaq sbg Kagome
Pierre sbg Inuyasha
Rukmini sbg Kikyo
#ngareppp
hahahaha gokil banget nih cerita kalian hahahaha(sampe kebawa suasana,sampe ngarasa ikutan) , Btw, salam kenal ya:) kita mungkin beda usia,tapi sama2 menggilai Pahlawan tampan ini ^_^
ReplyDeletehihii .iya nih HundeLiebeFrau, saking terlalu riindunya yaa .. yuks kapan2 kita meetup, sharing cerita tentang idola kita ^^
ReplyDeletesalam hangat mbak lisna :)wah mbak lisna juga udah pernah ketemu sama ibu Mitzi ya, gimana keadaan beliau sekarang? klo boleh please dong share foto2 yg mbak ambil langsung dri kediaman beliau di email saya : oliviaelexar@gmail.com, and thanks ya dah berbagi, kali aja di satu kesempatan kita bisa meetup,,we will never knew what will happen,right?
ReplyDeletePahlawan seperti ini sudah jarang ditemui di muka bumi. Dedikasinya dan tujuan hidupnya benar benar luar biasa. Karena dibanding anak muda jaman sekarang yang kurang rasa cinta dan pengabdiannya terhadap negara. Bisanya cuma kisruh dan melakukan hal yg kurang produktif... semoga kita bisa mencontoh pahlawan yg multitalent ini yaaak
ReplyDeleteModel jaketnya bomber ya? warna coklat atau biru si sebenanrnya?
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletesip.. HundeLiebeFrau , sorry nih baru sempet balas .. siap siap .. kl bisa meetup, hub via email yaaa :)
ReplyDeletesiaaapp Afifa ... makasih supportnya yaaaa ...
semangat jugaa buat share cerita ttg Pak Pierre yaakk :D
halo mba e Setiyani, menurut cerita Ibu Mitzie sih warnanya biru. yg notabene kembaran dgn Bu Mitz punya yaitu warna merah bata :D