Thursday 18 September 2014

Review Buku "Peristiwa 1 Oktober 1965"

3

Kali ini saya ingin me-review buku "Peristiwa 1 Oktober 1965"


Buku ini ditulis oleh Jenderal Besar TNI Purn. Abdul Haris Nasution. Melalui sudut pandangnya sebagai korban selamat, beliau mencoba untuk menuliskan apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu.

Jenderal Besar TNI Purn. Abdul Haris Nasution lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918. Karier militernya dimulai tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda indonesia. Dua tahun kemudian, ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Lalu Mei 1946, ia dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua setelah Jenderal Sudirman). Sebulan kemudian ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat jenderal besar bintang lima. Ia tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.



***

Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 04.00, Ibu Yohana terbangun dari tidurnya karena Jenderal Nasution mengibas-ngibaskan nyamuk. Tiba-tiba terdengar tembakan-tembakan dan keributan di luar, disusul oleh dibukanya pintu depan dengan paksa. Saat itu suasana sangat mencekam, Cakrabirawa terus menggedor pintu kamar dengan popor senjata diiringi rentetan tembakan. Pagi Itu, Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution dapat meloloskan diri dari upaya penculikan dan pembunuhan di Jl. Teuku Umar No.40, Menteng, Jakarta Pusat. Meski demikian, tragedi itu telah merenggut nyawa Ade Irma Suryani Nasution dan Lettu Czi Pierre Tendean, putri dan ajudannya.



***

Peristiwa 1 Oktober 1965-Gestok, merupakan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Peristiwa itu juga yang kemudian mengubah arah jalannya sejarah Indonesia, sekaligus menjadi titik awal beralihnya pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru. Banyak teori berkenaan dengan Gestok. Ada yang mengatakan rekayasa, atau pelakunya PKI dan Biro Khusus, Intervensi asing, atau bahkan sebenarnya masalah internal Angkatan Darat. Lalu bagaimana menurut Jenderal Nasution?
Jenderal Nasution adalah salah satu saksi, pelaku sejarah, sekaligus Menko Hankam/KASAB pada saat terjadi peristiwa 1 Oktober 1965. Karena itu, menarik untuk disimak opini dan analisis Jenderal Nasution tentang apa dan bagaimana sebenarnya tragedi itu. Melalui buku yang sangat penting ini Jenderal Nasution secara utuh memberikan kesaksian tentang peristiwa 1 Oktober 1965, peristiwa, dan bagian penutup yang mampu menafsirkan dari semua yang telah beliau saksikan, rasakan, dan ditulis dalam buku ini. Kesaksian dari Ibu Johana Sunarti Gondokusumo juga ada di buku ini, termasuk foto-foto keluarga Pahlawan Revolusi saat pelepasan jenazah 7 Pahlawan Revolusi dan pemakaman Ade Irma Suryani Nasution.

***
Jenderal Nasution saat melihat jenazah Pahlawan Revolusi di RSPAD, Jakarta-Pusat

                            Keluarga Pahlawan Revolusi di samping jenazah saat disemayamkan di 
                                         Markas Besar TNI-AD, Jl. Veteran No.5. Jakarta-Pusat
Prosesi pemberangkatan jenazah dari Markas Besar TNI AD, jenazah diusung menggunakan panser berjajar berurutan sesuai tingkat kepangkatan dan kesenioran.
Saat jenazah sebelum dimakankan, ditempatkan berjajar di atas pusara masing-masing.


Menurut saya buku ini cukup sederhana, penulis juga menjabarkan alasan-alasan dan fakta-fakta tentang apa yang terjadi pada hari tersebut, dimana tragedi besar tonggak perubahan bangsa ini terjadi. Saya membacanya tidak melihat dari sudut pandang politik saat itu atau politik yang terjadi di negara ini, tapi saya lebih membaca tentang sejarah, dan kehausan pengetahuan saya tentang apa yang telah terjadi pada bangsa ini.

Sekian yang bisa saya sampaikan dari buku yang menarik untuk dibaca ini. Semoga bermanfaat :)


Salam hangat ;)

Wednesday 17 September 2014

Hari Bersamanya.

12



Saya kenal anak ini beberapa bulan lalu, dia menambahkan saya dalam pertemanan di jejaring sosial, lalu memberanikan diri untuk bertanya tentang pahlawan idolanya kepada saya. Awal berkenalan saya merasa ada yang kaku membaca pesan darinya, mungkin karena dia menghargai saya sebagai yang lebih tua, jadi dia mengatur sedemikian baik tata tulisannya agar enak dibaca.

Setelah beberapa kali berbicara tentang latar belakang masing-masing, kita menjadi dekat. Kita biasa bercerita ini itu walaupun kami belum pernah bertemu. Cerita kita tentang segala hal, sampai hal yang tidak perlu dibicarakan-pun bisa kami bahas. Acara pengaturan tata bahasa, luntur seketika. - haha -

Singkat cerita setelah sekian lama kami berkenalan melalui percakapan dunia maya, anak ini berencana untuk datang ke Jakarta, dia tinggal di Jawa-Tengah. Maka saya menyempatkan diri untuk cuti dari pekerjaan dan menemui anak ini.

Pagi itu di Stasiun Gondangdia, dia menghubungi saya bahwa dia sudah menunggu. Beberapa menit lagi saya akan tiba di stasiun dimana yang telah kita tentukan untuk bertemu. Di ujung jendela itu, dia bersama dengan kawannya yang juga berkunjung ke Jakarta menyambut saya yang menuruni tangga peron. Dita, senyum dan keriangannya sama persis seperti yang sebelumnya sudah saya tau dari profilnya.

Kami berpeluk seakan sahabat lama yang terpisah jarak dan waktu (lebay), berkenalan dengan kawannya yang turut serta ke Jakarta - dan ternyata dari Amerika yang sekolah di Indonesia - Angela. Yah, dimulai lah hari ini kami menyusuri kawasan Menteng dengan berjalan kaki.

Dari awal tujuan kami adalah menelusuri jalan dimana pahlawan idola kami menghabiskan saat-saat terakhirnya, Jl. Teuku Umar. Kami bertukar cerita tentang beliau, berkhayal bahwa bisa saja sudut-sudut jalan yang sedang kami telusuri pernah menjadi tempat favoritnya. Khayalan sepertinya sudah menggusur kehidupan nyata kami, saat ini. Apalagi ditambah dengan suasana dan keadaan sekitar yang rimbun, sejuk, dan sepi. Saya dan Dita seperti sedang menyusuri lorong waktu, dan Angela mungkin sedang merasakan sensasi menggiring pasien RSJ. Yang kami tau, Angela terlihat senang-senang saja. Hihiii ..

Sesampainya di halaman rumah yang kami tuju, kami agak-agak takut karena terlihat sepi tanpa pengunjung. Penjaganya-pun tak nampak berjaga. Setelah masuk sampai di ruangan penjaga, baru kami disambut oleh penjaga yang sebelumnya asik menyaksikan siaran televisi.
Si bapak mengajak kenalan, bincang-bincang biasa, lalu kami dipersilakan masuk. Yahaa .. kami berada di Museum Jenderal Nasution.

Kami diceritakan seluk beluk bangunan tersebut, dari koleksi hingga spot favorit Pak Nasution. Segala bentuk penghargaan, lencana, hingga buku-buku karya beliau sungguh membuat kami bangga bahwa Indonesia memiliki seorang tokoh sehebat beliau. Dr.AH. Nasution.

Sebenarnya saya dan Dita asik dengan daya khayal kami masing-masing, dan sang pemandu-pun asik dengan incarannya, Angela. Sampai-sampai kami lelah dan duduk di bangku di ruang makan karena sang penjaga sibuk menarik perhatian Angela, dan Angela tetap tidak acuh. Kami diantar sampai dapur di bagian rumah utama saja. pintu belakang tertutup. Saat kami tanya kenapa tidak diantar kebagian belakang rumah, si pemandu bilang bahwa kita ke sana pun penampakannya akan sama seperti apa yang kita lihat dari dalam rumah *huft*. Oke, tak habis pertanyaan kami, apakah kami akan ke paviliun juga? ternyata tidak, si penjaga menjelaskan bahwa paviliun tersebut tidak bisa di buka, lampunya rusak, dan tidak ada yang menarik di sana. Lalu kami terdiam.

Sepertinya sang penjaga tidak berniat untuk mengantar kami ke tempat yang kami tuju. Tempat dimana pahlawan idola kami menghabiskan sore terakhirnya dengan bermain sepeda bersama puteri bungsu Sang Jenderal. Dan paviliun itu, tempat terakhir pahlawan idola kami bermimpi tentang masa depannya - mungkin-, tempatnya merangkai rindu, hingga tempatnya menuliskan kabar untuk keluarga dan orang tercintanya.

Karena kami masih ingin berlama-lama di dalam rumah yang kini sudah menjadi museum, maka sang pemandu meninggalkan kami. Sampai keadaan benar-benar sepi, kami akhirnya keluar dari rumah utama tersebut. Ketika kami menuju ke paviliun dimana tempat terakhir pahlawan kami tinggal, ternyata pintu paviliun terbuka, menganga sedikit, dan benar-benar bisa untuk dimasuki. Dengan hati-hati kami masuk paviliun tersebut, patung lilin pahlawan idola kami ada di sana. Dibuat semirip mungkin dengan kejadian saat beliau menghadapi para penculik. Gagah, berani, serta tampan (teteup).

Tibalah saat dimana kami melakukan hal gila, memandang takjub pada ketampanan (patung) sang pahlawan, memeluk, berfoto, dan jika memungkinkan pasti sudah kami gendong patung tersebut untuk kami bawa pulang. Melihat tingkah gila kami, Angela mengambil langkah tepat. Dia meninggalkan kami dan menuju ke rumah utama. Tinggallah saya, Dita, (patung) Pierre Tendean, dan beberapa patung lainnya yang tidak kami hiraukan keberadaannya. Tak sanggup kami meninggalkan tatapan Pierre Tendean yang teduh (lha, kan patung ?!), sampai kami menyadari bahwa kami disaksikan oleh kamera pengintai di sudut ruangan tempat kami menggila.

Dengan berat hati kami meninggalkan paviliun tempat diorama tersebut berada, masih dengan tatapan tak ingin meninggalkan Pierre Tendean yang dikepung oleh pasukan Cakrabirawa dan suasana mencekam pagi buta saat itu. Tapi dengan segala keberanian dan kegagahan Pierre Tendean, beliau gugur menjadi perisai Sang Jenderal, beliau juga menjadi inspirasi jiwa nasionalisme kami tetap subur di zaman yang telah tersentuh modernisasi.


Ternyata kami telah lama membiarkan Angela sendiri di tempat yang baru ia datangi ini. Saat kami menemukannya, ia sedang asik menulis jurnal di ruang kerja Pak Nasution, sendirian. Lalu kita memutuskan untuk menyudahi kunjungan kami di tempat ini. Bukan, bukan karena bosan, tapi kami lapar (heleh) :D.

Saat melewati pos penjagaan, kami melihat bapak penjaga menatap kami dengan senyum mencurigakan. Ah, pasti bapak itu telah menyaksikan adegan bodoh kami selama di paviliun melalui kamera pengintai. Dengan rasa tak tau malu, kami melenggang menuju gerbang dan membiarkan Angela yang pamit dengan penjaga museum tersebut (hehe, jangan dicontoh, yaa :D). Lalu kami-pun melanjutkan perjalanan hari itu dengan waktu perpisahan yang semakin mendekat, karena kami harus berpisah lagi :(.

Sungguh hari yang menakjubkan dimana saya bertemu dengan Dita yang sebelumnya hanya bersapa melalui sosial media, berkenalan dengan Angela - seorang darmasiswa dari Amerika - yang menakjubkan (dan saya ditraktir makan siang di restoran Vietnam ;D), serta dapat melihat dari dekat tatapan syahdu seorang Pierre Tendean (walaupun cuma patung). Saya selalu ingin untuk mengulangi kembali hari itu, hari bersamanya. Yang mungkin bila kami bertemu lagi, kita akan melakukan kegilaan lainnya. Saya suka, dan semoga kita juga bisa bertemu dengan cerita yang lebih seru.


Salam hangat ;)




Tuesday 16 September 2014

Kesaksianku : Dr. H. Soebandrio

0



Berawal dari ke-kepo-an saya tentang tragedi yang menjadi sejarah bangsa Indonesia, alhasil saya menemukan referensi beberapa bacaan tentang sejarah tersebut. Salah satunya adalah buku yang berjudul 'Kesaksianku'
Buku Kesaksianku tentang G30S ini penting sekali untuk dibaca oleh sebanyak mungkin orang, sebagai bahan tambahan penelitian tentang apa yang sebenarnya terjadi sekitar peristiwa G30S. Yang jelas kita ingin sejarah bangsa kita dimasa lampau membuat bangsa kita dimasa kini dan masa yang akan datang menjadi lebih bijaksana.





Semoga bermanfaat :). Lain kali jika ada sumber bacaan yang lebih seru lagi, pasti saya share. :)





Salam hangat :)

Cornell Paper

1

 Cornell Paper, adalah publikasi ilmiah yang mengungkapkan kegagalan kudeta oleh Gerakan 30 September dengan sangat rinci. Kali ini yang akan saya bagikan adalah bab yang membahas tentang visum dari para korban.

How Did the Generals Die

Author : Ben Anderson

Indonesia, (April 1987), 109--134.


Semoga bermanfaat :)

Salam hangat ;)

Thursday 4 September 2014

Rumah Keluarga Pierre Tendean di Semarang

37


Beberapa waktu lalu saat berkesempatan ke Semarang, hal terakhir yang saya sempatkan untuk datangi adalah rumah dari keluarga Pierre Tendean. Dari buku-buku yang pernah saya baca, lokasi rumah tersebut berada di Jl. Imam Bonjol. Berbekal pada penuturan Ibu Rooswidiati dalam Buku Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam, maka tujuan saya jelas, Jl. Imam Bonjol No. 172.





Dari informasi yang saya dapat, rumah keluarga Pierre Tendean di Semarang berbentuk bangunan lama dengan pilar tinggi khas seperti pada gedung-gedung tempo dulu, tetapi rumah tersebut sudah dijual kepada pihak lain. Jadi kemungkinan bentuk aslinya sudah berubah.

Waktu saya untuk sekedar mencari tahu gedung bernomor 172 di Jl. Imam Bonjol itu tidak lama, karena kereta yang saya gunakan untuk kembali ke Jakarta akan berangkat satu jam lagi. Awalnya berniat jalan kaki sambil menikmati jalanan kala sore hari di kota yang Pierre Tendean pernah tinggalkan jejaknya, pernah juga dihirup oksigennya, serta mungkin sedikit bangunan-bangunan yang belum berubah dari masa Pierre Tendean hidup kini menjadi saksi bisu bahwa pahlawan yang harum namanya tersebut pernah melenggang melalui hadapannya. Tapi karena waktu tidak memungkinkan, maka saya naik becak dan langsung minta diarahkan ke rumah no.172 di jalan tersebut.

Ternyata Jl. Imam Bonjol lumayan panjang, dan saya beruntung memutuskan untuk mbecak. Kondisi jalan yang ramai serta pepohonan di kiri-kanan jalan membuat perjalanan tidak membosankan. Lalu sampailah tukang becak melaksanakan tugasnya mengantar saya di tujuan. Saya urut ulang nomor-nomor rumah di jalan tersebut. Dan benar saja, saya berdiri tepat di rumah bernomor 172 di Jl. Imam Bonjol. Rumah yang alamatnya saya dapat dari buku. Tapi bentuk bangunan tersebut tampak benar-benar baru. Bahkan lebih tepat jika disebut kantor. Saya tidak bisa terlalu lama berada di depan bangunan ini karena kereta saya akan segera berangkat. saya harus kembali ke hotel karena pihak hotel sudah menghubungi saya.

Sayang sekali saya tidak bisa berlama-lama di sekitar rumah yang dulu ditempati oleh keluarga Pierre Tendean selama di Semarang, dan saya tidak bisa juga melihat keaslian dari bangunan yang pernah ditinggali oleh beliau dan keluarganya. Gedung tersebut kini menjadi Kantor Pelayanan Pastoral Keuskupan Agung Semarang.






Semua memang sudah berubah, tapi setidaknya saya bisa membayangkan seperti apa dulu beliau membuat benang layang-layang di halaman rumahnya, bagaimana acara penyambutan keluarga saat beliau pulang, bagaimana beliau menghadang pawai yang memang benar-benar tepat di depan rumahnya. Ah, saya suka, saya suka !! Dan jika ada kesempatan lagi, pasti saya akan kembali ke kota tersebut. 





Salam hangat ;)

Tuesday 2 September 2014

Gara-gara Pierre Tendean.

51

Entah berapa kali dalam satu tahun saya berkunjung ke Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya. Karena termasuk dekat dari rumah, saya juga senang dengan suasana di sekitar Lubang Buaya. Jalannya masih rindang dengan banyak pepohonan, kecil dengan banyak kelokan. Udaranya juga masih segar, tidak seperti kebanyakan kawasan di bilangan Jakarta. Kadang tercium aroma embun dari pepohonan ketika matahari masih malu-malu bersinar. Sejuk, jika pernah ke sana pada saat pagi atau sore hari, pasti merasakan sensasi menuju puncak, Bogor.

Sebenarnya saya sering melewati depan Monumen Pancasila Sakti, tapi untuk memasuki gerbang besar tersebut saya tidak berani jika seorang diri. Saat malam, gerbang gagah tersebut benar-benar gelap, dengan pagar besi tinggi tegap dan pepohonan di sampingnya membuat kita tidak bisa menemukan lokasi tersebut jika jarang melewatinya. Karena memang penerangan di depan gerbang tersebut sangat kurang.

Tahun ini saya sudah empat kali berkunjung ke tempat tersebut. Itupun dengan memaksa teman untuk ikut dengan saya, mengajak adik, atau pun merayu anak tetangga untuk bisa menemani saya dengan dalih belajar sejarah :D. Bukan, ini samasekali tidak ada hubungannya dengan kontroversi yang terjadi di balik peristiwa dan dibangunnya tempat ini.
Ini semua pasti ulah rindu, rindu saya pada salah satu pahlawan yang dieksekusi di sana. Saya selalu ingin mengenangnya, bahkan dengan memasuki gerbang kokoh di depan pintu masuk Monumen Pancasila Sakti, saya sudah merasakan rindu yang segera terbayar. Menuju ke arah sumur maut, memandang lama pada tujuh Pahlawan Revolusi yang patungnya berdiri menawan. Lalu berpindah ke Gedung Paseban.

Memang semua benda terakhir peninggalan korban ada di sini, di simpan dalam lemari kaca untuk dipamerkan. Lengkap dengan segala keterangan, foto-foto, serta hasil visum. Ribuan rasa jika berada di sini, di tempat ini. Walaupun kita tidak pernah menyaksikan kejadian aslinya, tapi keterangan-keterangan yang ada sudah sangat sungguh menggambarkan kejadian yang dialami para korban.

Yaks, dan sasaran utama rindu saya ada di sini. Di depan lemari yang menyimpan peninggalan dan benda-benda terakhir yang ditemukan pada tubuh Pierre Tendean. Isi lemari tersebut sungguh sanggup membuat saya rindu untuk selalu ke tempat ini, Gedung Paseban. Entah berapa lama saya sanggup bertahan untuk berdiri di depannya yang akhirnya harus sadar bahwa saya telah memaksa orang lain untuk menemani saya ke tempat ini :D

Saya suka melihat saputangan di sakunya, saya suka dengan batu pada cincinnya. Entahlah apa yang terjadi pagi itu, tapi peninggalannya membuat saya semakin terharu. Apalagi ada tali yang digunakan untuk mengikat tangan Pierre Tendean. Tapi semua hal yang berhubungan dengannya selalu berhasil membuat saya rindu untuk selalu mengenangnya. Itulah sebabnya saya selalu berkali-kali datang ke tempat tersebut apapun alasannya. Apalagi jika rindu sudah memaksa untuk segera dibayar. Semua hal tentang Pierre Tendean selalu membuat saya semakin penasaran.

Saputangan di saku celana Pierre Tendean

Cincin bermata biru     

Tali yang digunakan untuk mengikat tangan Pierre Tendean

Pierre Tendean mengawali karirnya di bagian Zeni, sebuah unit dalam kesatuan Angkatan Darat yang menangani teknis KonstruksiDestruksiRintanganSamaranPenyeberanganPenyelidikanPerkubuan, Penjinakan bahan peledak (Jihandak), serta Nuklir-Biologi-Kimia (Nubika) pasif. Itulah sebabnya saya yakin Pierre Tendean adalah sosok pemuda yang cerdas.

Wajah rupawan Pierre Tendean adalah salah satu kelebihan yang lain. Ia keturunan Manado-Prancis. Maka, kulitnya bersih . Jelas, tidak ada yang curiga ketika ia disusupkan ke Singapura.

Tak henti saya terkagum pada keberaniannya, kesetiaannya, dan dedikasinya untuk sang Jenderal, untuk mengharumkan nama baik kesatuan di mana ia dididik, mengharumkan nama keluarga, serta Indonesia.
Bahkan peninggalan terakhirnya pun membuat saya terkagum, bisa selalu melihatnya, dekat walaupun tanpa menyentuhnya. Dan Gedung Paseban di Lubang Buaya adalah tempat yang akan selalu mengingatkan saya pada beliau. Dan semua tempat yang berhubungan dengan beliau akan selalu membuat saya membayangkan bahwa beliau  masih ada, menikmati oksigen yang sama saat saya mendatanginya, serta menatap pemandangan yang sama walaupun dalam dimensi waktu yang berbeda.

Lubang Buaya hanya satu dari sekian banyak tempat yang menjadi saksi bahwa Pierre Tendean pernah menapakkan kakinya, menghirup udaranya, serta merasakan suka duka-nya. Semoga beliau selalu dikelilingi segala kebaikannya di alam sana. Serta doa-doa para penerusnya yang selalu menginginkan kebahagiaan untuknya.

Lain kali, saya akan rindu lagi pada Lubang Buaya, serta tempat-tempat yang berhubungan dengan Pierre Tendean. Dan pastinya cerita-cerita terbaik dari pengalaman hidupnya yang selalu menarik saya untuk berkhayal seandainya saya hidup di masa yang sama. Dan semua gara-gara Pierre Tendean :D


Salam hangat ;)