Monday 27 August 2018

Sisi Lain Monumen Pancasila Sakti

3


Hallo kalian.. !!!

Jika pada kiriman-kiriman sebelumnya saya membahas tentang sejarah yang terdapat di Monumen Pancasila Sakti, kali ini saya akan bercerita yang mungkin masih ada kaitannya dengan sejarah tapi dari sisi yang berbeda.


Sebenarnya saya sudah tidak asing dengan Monumen Pancasila Sakti yang berada di kawasan Lubang Buaya. Tapi bagi kebanyakan orang yang tinggal berdekatan dengan tempat bersejarah tersebut akan sedikit bertanya-tanya, “Ngapain sih, lu demen banget bolak-balik ke sana?”, jika teman saya yang bosan dengan kawasan tersebut saya ajak memasuki wilayah museum yang ada di dalamnya.

Saat kita memasuki gerbang bertuliskan Monumen Pancasila Sakti, kita masih akan menempuh jalan panjang dipenuhi pepohonan rimbun di salah satu sisi jalan yang akan mengantarkan kita pada tujuan di mana museum dan tempat bersejarah tersebut berada.

Pada pagi atau sore hari, terlebih saat akhir pekan, maka kita akan mendapati banyak penjaja jajanan yang berbaris di sekitar gerbang, dan jika pagi akhir pekan tiba maka lapangan area parkir akan berubah menjadi pasar dadakan yang berwarna-warni dan dipenuhi banyak pengunjung. Tapi sayangnya, pengunjung hanya bertujuan ke lapangan parkir. Tak ada minat lebih untuk memasuki lebih dalam ke area bekas rumah penyiksaan, sumur maut, maupun museum. 

Baiklah, karena dikenal sebagai tempat yang memiliki aura mistis yang sangat kental di kawasan museum, suatu hari saya dan teman saya memberanikan diri untuk datang ke Museum Pancasila Sakti saat sore hari yang kemungkinannya pasti sudah sepi pengunjung. Karena saat itu kantor saya masih berada di kawasan yang sama dengan daerah Lubang Buaya, saya dan teman saya menuju lokasi selepas pulang kerja sekitar pukul lima sore.

Bagi teman-teman yang juga berada di daerah yang sama, pasti tak asing lagi dengan kepadatan lalu lintas yang mengular dari Pangkalan Jati hingga Plaza Pondok Gede. Dan walaupun terbilang dekat, nyatanya kami butuh waktu sekitar 20 menit untuk tiba di tempat yang kami tuju. Tentu saja gerbang masih terbuka lebar, tapi kami masih harus melewati pintu masuk terlebih dahulu untuk membeli tiket.

Karena jam kunjung sudah habis, sedikit kami berbasa-basi pada penjaga pintu untuk memberikan kami ijin sebentar saja dan berjanji sebelum waktu Maghrib tiba kami sudah akan kembali lagi ke pintu keluar. Kami pun diijinkan. Sudah tak banyak orang yang berada di kawasan tersebut, hanya satu dua melintas, mungkin memang penduduk sekitar atau orang-orang yang memang tinggal di dalam kawasan museum. Tak ada lagi pengunjung kecuali kami.

Kami langsung menuju gerbang dalam. Sepi, tidak tampak ada seorang pun di sana. Kami pun memasuki kawasan sumur maut, daun-daun kering berguguran berserak di lantai. Suara angin sore terdengar lirih seperti menuntun kami untuk mendekat ke arah saksi-saksi bisu yang tampak menyambut kami dengan malu-malu.

Saya dan teman saya berkeliling ke rumah-rumah bilik yang ada di sana. Masih terawat memang, tapi kami ragu untuk mendekat. Bukan takut, tapi entahlah. Aura di sana terasa sangat sesak berdesakan. Kalian pasti paham bagaimana rasanya berada di tengah-tengah keramaian, kami merasakan hal tersebut dalam keadaan sepi. Keramaian yang tak kasat mata.


Dalam waktu yang tidak lama, kami benar-benar merasakan keramaian. Ramai seperti sibuk sekali. Kami sudah tak peduli lagi dengan keadaan sekitar, kami terus penasaran dengan keramaian yang justru berasal dari rumah yang berada di sebelah rumah penyiksaan. Kalian harus pahami bahwa kami tidak cukup berani untuk melihat atau sengaja melihat ke arah rumah penyiksaan yang dipenuhi oleh patung-patung yang tampak hidup tersebut. 



Di sebelah rumah penyiksaan tersebut, sayup-sayup seperti kami mendengar suara berbincang dari dalam rumah. Dengan niat yang teguh, kukuh, berlapis baja ingin mengetahui tentang apa yang terjadi di dalam sana, kami pun mendekat. Tapi sayang, keadaan memang benar-benar sepi. Kosong. Hanya kita berdua yang diapit keramaian yang tak tampak.

Akhirnya kami berkesimpulan bahwa suara tersebut adalah suara angin yang meniup rimbun dedaunan yang mungkin saja jatuh menyentuh genting-genting atap rumah atau terjatuh menyapu dinding bilik rumah. Mungkin.

Tapi kemudian semua itu hanya menjadi angan kami saja untuk menenangkan kegundahan kami yang masih penasaran. Kembali kami dikejutkan oleh sapuan angin yang membuka satu sisi daun jendela. Kami beranikan diri melihat ke arah dalam rumah. Sungguh, kami tidak sanggup. Teman saya terus merapalkan ayat-ayat yang mampu membentengi kami. Saya pun terus memohon untuk meminta mereka agar tidak dan jangan datang dengan kejutan-kejutan yang saya tidak siap. Hingga akhirnya kami pun bergegas keluar menuju pelataran dengan bayangan seorang wanita berkebaya di sudut mata kami. Tapi kami hanya mengabaikannya.

Lagi-lagi, kami tidak langsung bergegas pulang, tapi ada sesuatu yang menarik perhatian kami, yaitu celah kecil di ujung lapangan yang menuju ke bawah. Dengan melintasi lapangan, kami menuju celah kecil yang di baliknya tampak seperti alam terbuka di balik kawasan monumen tersebut. Rupanya celah menyerupai gerbang kecil tanpa daun pintu tersebut ada tangga turun yang menuju halaman luar kawasan monumen.

Suasana sudah benar-benar sepi, langit sudah tampak pendar gelap menuju malam. Dari tangga tersebut tampak bangunan yang tidak terlalu baru tapi sudah kotor. Yang saya lihat seperti dipenuhi oleh asap hitam. Saya pikir itu adalah asap sisa pembakaran sampah oleh warga sekitar yang berada di luar kawasan museum. Tapi ternyata teman saya tidak melihatnya. Yang saya lihat wajah teman saya berubah menjadi pucat, dan entah apa yang terjadi saat saya ingin bergerak kaki saya terasa tertahan. Saya tidak dapat bergerak.

Teman saya menarik tangan saya untuk membawa saya berlari bersamanya. Saya masih terseok-seok menyeimbangkan tegaknya berdiri tubuh untuk bisa dibawa berlari. Kaki saya terlalu lemah untuk menolak gravitasi dan melesat pergi. Teman saya terus berlari tunggang langgang menjauhi area lapangan dan keluar ke arah gerbang. Saya mengikutinya dengan langkah tertatih-tatih seperti ingin mencium bumi.

Mungkin siapa pun yang memandang keadaan kami saat itu akan tertawa terjungkal-jungkal karena betapa paniknya wajah kami. Kelakuan bodoh kami. Sesampainya di area parkir, kami bertemu dengan seorang laki-laki yang sudah tidak muda lagi tapi belum juga teramat tua. Kami mengiringi langkahnya, berjalan beriringan dengannya dan berharap jika terjadi sesuatu, kami tidak benar-benar sendiri, saya dan teman saya, tetapi ada orang lain yang mungkin petugas museum.

Laki-laki tersebut tampak biasa saja walaupun kami tidak melihat seperti apa tampak wajahnya, berpakaian serba hijau tua seperti penjaga tiket yang ada di depan, kami pikir memang seragam dari angkatan. Kami berjalan sambil mengatur napas agar tak lagi merasa oksigen berdesakan memasuki paru-paru, hingga sampailah kami di halaman tempat kami memarkirkan kendaraan kami dan tak peduli lagi dengan lelaki tadi. (haha oke, kita jahat)

Dengan rasa diburu janji yang akan kembali ke pintu keluar sebelum adzan Maghrib berkumandang, kami pun bergegas meninggalkan kawasan museum dengan perasaan tak menentu dan badan yang lemah lunglai. Ternyata, lelaki yang sama seperti yang kami temui tadi sudah berada menunggu kami di pintu keluar. Rupanya cepat juga langkah lelaki tersebut dibandingkan kita yang menggunakan kendaraan.

Sambil menyapa penjaga pintu tiket, kami pun turut menyapa lelaki yang kami temui tadi, “Hai Pak, Bapak yang tadi jalan bareng kita kan? Cepet banget udah sampai sini, lari ya Pak?”. Tapi lelaki yang kami sapa dengan sebutan bapak tersebut tertawa sambil menjawab, “ Neng ada-ada aja becandanya, bilang aja mau kenalan sama saya.”. Lalu tawa kami pun lepas karena kami pikir lelaki tersebut hanya modus.

Kami pun berpamitan dan mengarahkan kendaraan kami ke Jl. Lubang Buaya menuju Masjid At-Tin yang berada di kawasan Taman Mini Indonesia Indah guna melaksanakan sholat Maghrib. Seperti biasa, kami lewat jalan belakang supaya tidak terlalu macet, walaupun jalan yang kami pilih lebih sempit dibanding dengan melalui jalan pada umumnya.

Di sepanjang jalan menuju masjid, saya dan teman saya masih berbincang bercanda sambil membicarakan hal-hal yang kami temukan di museum dan kebodohan kami yang datang dengan tujuan yang tidak masuk akal. Lalu di tengah perjalanan, tetiba kendaraan yang dikendarai oleh teman saya seperti menabrak sesuatu, seperti seorang perempuan tapi sayangnya perempuan tersebut hanya diam dan tidak ada reaksi apapun selain menghilang dari pandangan kami.

Teman saya lalu melambatkan laju kendaraan yang kami tumpangi senja itu, kami mengecek apa yang terjadi. Tapi tak ada tanda-tanda apapun yang menandakan bahwa kami baru saja menabrak seseorang. Lalu ketika kendaraan mulai melajukan kecepatan seperti semula, terdengar seorang laki-laki memukul kendaraan kami sambil menghardik dengan kata-kata yang kami tidak dengar jelas. Tapi yang pasti, kami hanya mampu melihat pada kaca spion.

Ternyata, bayangan di spion memantulkan cahaya remang lampu jalananan dengan siluet laki-laki yang kami temui tadi saat ingin meninggalkan kawasan Monumen Pancasila Sakti. Dan kami pun akhirnya memahami, bahwa lain kali kami harus kembali lagi untuk meminta maaf dan tidak datang di saat yang tidak semestinya. Terlebih kami adalah orang baru yang tidak terbiasa berada di antara mereka.

Sesampainya di masjid, selepas sholat kami hanya bisa termenung-menung memikirkan hal yang baru saja menimpa kami sambil terus mengikuti bacaan-bacaan ayat suci yang terdengar mengalun meramaikan masjid. Hingga selesai sholat Isya dan melanjutkan perjalanan pulang, kami masih was-was merasa khawatir seandainya laki-laki dan wanita misterius tersebut masih berada di antara kami.



***
Bagi teman-teman yang belum pernah berkunjung ke Monumen Pancasila Sakti, sangat dianjurkan sekali untuk lebih mengenal sejarah Bangsa Indonesia. Pada hari-hari biasa di jam kerja, tentu saja kawasan tersebut ramai oleh pengunjung terlebih jika akhir pekan tiba. Harga tiket pun amat terjangkau. Asal jangan berkunjung di luar jam operasional, karena pasti tutup.


Selamat berwisata sejarah !!!


Sunday 8 July 2018

Adek Irma Suryani Nasution Dalam Kenangan

0




Hallo teman,
setelah sekian lama serta e-mail - e-mail permintaan untuk melanjutkan bercerita di blog ini, simak yuks cerita kali ini.
semoga suka yaaa ...


____________________________________________________________________________________________________________________________





Kenapa kau tembak tubuhku

Aku tak bersalah padamu

Aku hanya cinta pada ibu dan bapakku

Itukah dosaku??

Kenapa kau sampai hati memotong hidupku
Kau tak kenal padaku . . . . . . . . . . .!!!
. . . . . . . . . . . . .­­­­­­



Seandainya Adek Irma Suryani Masih Hidup ...


Tak jauh berbeda dengan Pierre Tendean, kita ketahui jika Adek Irma Suryani Nasution juga merupakan korban meninggal yang tidak direncanakan atas aksi penculikan yang semula menyasar pada Jenderal Abdul Haris Nasution. Pagi kelam itu, tanpa sengaja peluru-peluru yang berhamburan mencari mangsanya menembus tubuh mungil si bungsu dari Jenderal AH. Nasution. Sedangkan Jenderal AH. Nasution berhasil meloloskan diri dari aksi berdarah di pagi hari tersebut karena desakan dari sang istri, Johana Sunarti Nasution.


Adek Irma Suryani, si manis nan lincah putri bungsu dari keluarga A.H Nasution lahir pada 19 Februari 1960. Tapi kelincahan si manis ini harus berakhir di tangan-tangan kotor yang merenggut nyawanya secara paksa, ia meninggal di usia 5 tahun 7 bulan. Usia yang masih sangat belia di mana anak-anak seusianya masih senang bermain, berlarian sana-kemari serta bermanja-manja kepada orang tuanya. Tapi hal memilukan tak dapat dihindari lagi ketika 3 peluru menembus tubuh Adek.

Kini, nama Adek Irma Suryani hanyalah sebuah kenangan pilu tentang bagaimana perjuangan hidup seorang anak yang bertahan dengan peluru yang bersarang di tubuhnya selama beberapa hari. Dalam sebuah wawancara, Ibu Nasution pernah berujar bahwa jika ia melihat anak-anak yang mungkin seumuran atau teman bermain Adek, maka Adek pasti akan sama sebesar mereka jika Adek masih hidup.

Semasa hidupnya, Pak Nas dan Ibu Nas sering membicarakan segala sesuatu tantang Adek saat mereka merindukan sosok putri bungsunya yang telah terlebih dahulu berpulang. Adek Irma Suryani berpulang setelah 5 hari lambungnya robek oleh peluru. Waktu itu dini hari di tanggal 1 Oktober 1965 ketika rumah Pak Nas di Jl. Teuku Umar diserbu oleh segerombol pasukan pengkhianat. Mendengar suara ribut-ribut Adek pun terbangun. Tantenya, Mardiah (adik Pak Nas) segera menggendong Adek dengan maksud ingin menyelamatkan Adek ke tempat yang lebih aman.

Tapi malang tak dapat ditolak, saat Mardiah mencoba membuka pintu kamar, senjata yang berada di balik pintu langsung memuntahkan pelurunya ke arah Mardiah yang sedang menggendong Adek. Rupanya para pengkhianat tersebut menyangka bahwa yang akan keluar dari dalam kamar adalah Pak Nas, tetapi ternyata Adek-lah yang menghadapi maut di ambang pintu tersebut. Segera Ibu Nas mengambil alih Adek untuk kemudian digendongnya dengan darah yang telah membasahi tubuh Adek.

Lalu, apakah Ibu Nas menyesal mengapa pada saat itu Mardiah membuka pintu yang berakhir dengan kematian Adek?

Tidak, Ibu Nas berkata bahwa jalannya memang sudah demikian. Mardiah juga tidak sengaja dan tidak tahu bagaimana bahayanya jika membuka pintu itu. Ibu Nas menuturkan bahwa mereka tidak menyesali kejadian tersebut, karena jika dipikirkan, banyak peluru yang melesat melewati rambutnya hingga rambutnya terbawa, tak hanya itu karena peluru juga melesat menyerempet ketiaknya. Ibu Nas merasa seharusnya saat itu ia sudah mati, karena saat direkonstruksi, tepat di tempat ia berdiri di balik pintu, terdapat lubang-lubang peluru yang menembus pintu.

Sebagian orang yang akan meninggal, kadang bertingkah laku di luar kebiasaan sehari-harinya. Hal tersebut merupakan firasat bagi orang-orang atau pun keluarga yang akan ditinggalkannya. Ibu Nas sendiri tidak merasakan ada firasat apapun atas kepergian Adek. Tapi Ibu Nas sendiri mendapatkan firasat tentang kejadian yang akan menimpanya keluarganya kala itu.

Pada hari-hari menjelang bulan Oktober di tahun 1965, Ibu Nas sempat bermimpi bahwa ayahnya yang sudah meninggal dunia di tahun 1963, RP. Gondokusumo, yang dekat dengan Bung Karno datang dengan menggunakan kain sarung dan singlet. Dalam mimpi tersebut ayahnya berkata bahwa saat ini keadaan sedang ruwet dan negara sedang dikacaukan.

Pada pagi hari setelah Pak Nas didesak oleh Ibu Nas untuk menyelamatkan diri dengan melompati tembok di sebelah rumah, gerombolan pengkhianat pergi dengan membawa serta sang ajudan. Ibu Nas masih menggendong Adek yang sudah bermandikan darah.  Ditatapnya punggung ajudannya yang sudah ia anggap sebagai anggota keluarganya sendiri menjauh, digiring oleh orang-orang yang berhasil memporak-porandakan rumah dan juga buah hatinya. 

Setelah keadaan kembali hening dan kosong, Ibu Nas berusaha untuk mencari supir guna membawa Adek ke rumah sakit. Ibu Nas sempat mampir ke markas KKO memberitahukan apa yang baru saja ia alami. Sesampainya di RSPAD, Ibu Nas juga memberitahukan kepada dokter. Rubiono untuk melaporkan ke Istana tentang apa yang baru saja terjadi.

-----------------

Adek mau terus hidup...


Pak Nasution - Adek Irma - Ibu Johana Sunarti - Yanti
Di ruangan rumah keluarga AH.Nasution yang kini telah menjadi Museum Sasmitaloka Jenderal AH. Nasution, banyak terpampang gambar dan foto Adek. Di samping foto-foto tersebut, terdapat pula lubang-lubang bekas peluru yang menembus pintu dan perabot lainnya. Rumah tersebut dibiarkan seperti itu agar selalu tampak asli seperti dahulu.

Gambar-gambar Adek yang dipasang merupakan pemberian dari kawan-kawannya yang bersimpati. Berkali-kali lukisan Adek berdatangan serta hal-hal yang berhubungan dengan Adek. Semua masih tetap terpelihara untuk mengenang Adek. Setelah kejadian yang memilukan tersebut, keluarga A.H Nasution sempat bermaksud untuk pindah rumah. Tapi kenangan tentang Adek yang selalu hidup di tengah mereka dan membuat mereka tetap menempati rumah tersebut.

Baju-baju Adek diberikan kepada anak-anak lain seusia Adek atau beberapa disimpan dan sempat digunakan oleh cucu Bapak dan Ibu Nas. Baju kesayangan Adek Sebagai Kowad tetap disimpan dan dipamerkan di museum. Baju pestanya yang terakhir diserahkan oleh pihak keluarga ke Museum Taruna di Magelang.

Bagaimana pun tabahnya hati seorang ibu yang telah kehilangan anak yang dicintainya, tentu masih tergetar juga perasaannya jika harus mengingat peristiwa yang merenggut nyawa putri kecilnya yang belum lama mewarnai keceriaan di hari-harinya. Bagaimana ketika saat Adek baru saja tertembak, Adek berkata bahwa ia ingin tetap hidup.


Prosesi pemakaman Adek Irma Suryani

Saat ingin dioperasi dan minum obat untuk persiapan, Adek sempat berkata, “Adek minum obat supaya Adek cepat sembuh.”. Tapi takdir berkata lain, Adek telah benar-benar kehilangan rasa sakitnya untuk selama-lamanya.

Kenangan pada Adek tak hanya membekas bagi keluarga, tapi kita semua bisa merasakan bagaimana peluru-peluru yang beterbangan di rumah tersebut menembus tubuh mungil seorang anak tak berdosa. Adek mungkin telah tiada, tapi kenangan dan peninggalan-peninggalan Adek bisa kita lihat di Museum Jenderal AH. Nasution, Jakarta.

Tentu saja, Adek Irma Suryani Nasution sudah tidak ada, tapi namanya masih selalu membekas di hati keluarganya, teman-temannya, dan juga kita semua.



sumber: Astuti Wulandari (Adek Irma Suryani Nasution dalam Kenangan)


Semoga bermanfaat,
Salam hangat :)