Saturday 30 August 2014

Paket Istimewa ke Yogyakarta..

0

Yogyakarta. Sebuah tempat yang selalu saya rindukan untuk selalu kembali ke sana.
Yaks, dengan tekad menikmati liburan a la minimalis, saya dan teman-teman saya berpetualang ke kota gudeg-kota pelajar-kota sepeda-kota sejarah-kota budaya, dengan biaya yang super hemat.
Iya, hemat. Bagi kami, keluar jauh dari kepenatan pinggiran ibukota dengan biaya murah adalah hal yang menakjubkan.
Kami berempat memesan dari jauh-jauh hari tiket kereta api menuju Yogyakarta. Kenapa jauh hari ? Yaa, karena dari jauh hari juga kami harus merencanakan cuti . Kami menggunakan jasa kereta api karena dinilai sangat paling termurah dari semua moda transportasi yang kami ketahui.
Dari St.Pasar Senen, kami hanya mengeluarkan biaya tiket sebesar Rp.45.000,- sampai St.Lempuyangan. Selain karena harga bersahabat, layanan kereta api saat ini juga sudah agak tertib. Tidak ada lagi calo, tidak ada lagi pedagang di dalam stasiun, serta dengan kereta ekonomi pun sudah dilengkapi dengan AC. Hanya saja terkadang ada kendala teknis yang menyebabkan kereta api datang terlambat dan tidak sesuai jadual.
Kami berangkat dengan Kereta Api Progo pukul 22.00 WIB. Sampai di Lempuyangan sekitar pukul 07.00 WIB keesokan harinya. Disambut matahari pagi kota budaya, kami bersantai-santai duduk menghilangkan lesu di sebuah warung kopi depan stasiun.
Jarak dari St.Lempuyangan ke Malioboro sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja tidak ada kendaraan umum yang melewati rute tersebut. Walhasil dengan petunjuk sang ibu penjaga warung, kami berjalan kaki melewati perkampungan yang akan berujung di Jl. Mataram.
Agak lumayan jauh memang, tapi bagi yang terbiasa berjalan kaki, itu adalah hal sepele.
Well, dari Jl. Mataram kami menuju penginapan di sekitaran Malioboro. Banyak penginapan di gang-gang kecil di Jl. Malioboro. Kami akhirnya menemukan Hotel Nugroho (kayaknya :D). Untuk satu kamar dengan dua double bed, kamar mandi dalam, lengkap dengan AC dan TV hanya Rp.240.000/malam. Cihuy, kan ? Biaya tersebut kami bagi empat.
Oke, selesai beres-beres wajah yang kusut tak berbentuk karena bermalam di dalam peti besi ber-roda, kami sudah siap untuk berkelana. ����
Kami berjalan mencari penyewaan sepeda motor, sebelumnya kami naik Kopata dari Jl. Malioboro, lalu turun di depan Pamela 1 Jl. Kusumanegara.
Kami sarapan di warung Mbak Sri di depan Bank BNI Kusumanegara. Makan rames dengan ayam hanya Rp.8000,- saja. Soto ayam dengan nasi hanya Rp.6000,- , dan dengan harga tersebut kami tidak akan mendapatkan makanan yang sama ketika di Jakarta. Cukup murah, kan ?
Semua pasti mengetahui keramahan penduduk Yogya, sampai saat penjaga warung mengetahui kehebohan kami mencari tempat penyewaan motor, maka si mbak penjaga warung merekomendasikan tempat penyewaan motor terdekat.
Sewa motor di Yogya tidak neko-neko. Satu unit motor dengan dua helm dihargai Rp. 50.000,-/hari. Jaminannya ? Cukup KTP saja. Kami menyewa dua unit motor.
Setelah dapat motor, sekitar pukul 11 siang, kami langsung menuju Museum Dharma Wiratama. Yuhuuu, lagi-lagi teman saya pasti tahu kalau tujuan saya adalah mencari hal-hal yang berbau Pahlawan. Museum tersebut adalah Museum Pusat TNI-AD. Berada tak jauh dari Gramedia Jl. Jend. Sudirman, museum yang merupakan bekas rumah singgah Panglima Besar Jenderal Sudirman sudah terlihat. Kebetulan saat kami datang, sejumlah adik-adik dari TK juga sedang berkunjung ke sana. Jadi museum tidak terlalu sepi.
Pemandu di museum tersebut dengan senang hati menerangkan kami tentang sejarah museum tersebut, dari foto-foto Panglima TNI terdahulu sampai yang terbaru berjajar di atas pintu utama bangunan tersebut.
Bagian-bagian bangunan, serta benda-benda yang dipamerkan di museum tersebut dijelaskan pula sejarah dan fungsinya satu per satu.
Di museum ini, saya paling tertarik di Ruangan G30S/PKI. Semua pasti tahu peristiwa yang termasuk dalam Tragedi Nasional tersebut terjadi di Jakarta dan juga di Yogyakarta pada tanggal yang sama. Di sana diperlihatkan benda-benda peninggalan Pahlawan Revolusi sampai dengan alat yang digunakan untuk membunuh pahlawan tersebut. Sungguh mengerikan.
Karena hari itu Jumat, maka kami tak lama berada di museum tersebut disebabkan sang pemandu akan melaksanakan sholat Jumat. Sekitar pukul 12.00, kami melaju, menuju Candi Borobudur, Magelang. Sebelum melaju terlalu jauh, kami siapkan bahan bakar agar tidak merana jika habis di kampung yang jauh dari penjual bensin.
Yes, Magelang. Perjalanan menuju Magelang bisa diikuti dengan membaca petunjuk marka jalan. Mudah sekali, apalagi jika ingin ke Candi Borobudur. Setelah sampai di Kota Magelang, maka akan ada petunjuk-petunjuk jalan alternatif yang dibuat oleh penduduk untuk menuju ke candi tersebut. Jalan alternatif tersebut adalah jalur evakuasi saat Gunung Merapi meletus beberapa tahun lalu. Jalannya kecil, masuk ke pemukiman penduduk, kadang melewati perkebunan, area persawahan, hingga menyebrangi sungai yang hampir kering.
Adapula jembatan dari bambu yang hampir reot, dan kami harus melaluinya dengan menggunakan motor. That was amazing !!!
Perjalanan kami tempuh sekitar 2 jam. Sesampai di Borobudur, ternyata Mungkid (nama desa) diguyur hujan. Biaya masuk candi Rp.30.000,- parkir motor sepuasnya plus MCK Rp.3000,-/motor.
Puas melakukan aksi narsisme di salah satu peninggalan sejarah dunia tersebut, kami kembali ke Yogyakarta. Karena lapar yang terlalu membara dan diterpa hujan ringan, kami singgah di warung pecel lele. Kami memesan ayam penyet dan teh hangat, paket tersebut hanya Rp.15.000,- saja. Selesai istirahat, kami kembali dengan meraba-raba jalan karena kami melewati jalan yang berbeda dengan jalan yang kita lalui saat berangkat tadi.
Sampai di hotel, kami mandi-mandi, istirahat, lalu melanjutkan berbelanja di Malioboro. Duduk di depan benteng, sampai masuk Mirota Batik. Tak lama kami di Malioboro karena kami sudah terlalu lelah. Maka kami pun kembali ke hotel dan menunggu pagi dengan tidur.
Keesokan harinya, kami melanjutkan ke Taman Sari. Kami sarapan di pasar yang terletak di depan Taman Sari. Lagi-lagi makanan yang disajikan sungguh istimewa. Dengan harga rata-rata di bawah Rp.10.000,- kita sudah bisa mendapatkan menu empat sehat.
Selesai sarapan, kita berkelana ke Taman Sari. ��������
Puas di Taman Sari kami lanjut ke Keraton, sayangnya keraton belum dibuka. Lalu kami menuju mencari oleh-oleh makanan khas Yogyakarta. Tak tersesat maka belum berpetualang. Berkali-kali kami tersesat di Kota Yogya walaupun menggunakan aplikasi Waze di Android. Kami sadar, kami tidak canggih dalam hal membaca peta. Dan sistem navigasi di otak kami sangat buruk. Tapi tersesat bagi kami adalah kejutan yang sangat mempesona. :)
Lelah berkelana di Yogya, kami sadar kami dikejar waktu untuk segera kembali ke Jakarta. Sesegera mungkin kami mengembalikan sepeda motor, dan bergegas meninggalkan hotel.
Dari hotel, kami naik Kopata ke Stasiun Lempuyagan. Dan, sore itu dengan kereta kelas ekonomi seharga Rp.45.000,- kami kembali ke Jakarta.
Yeah, perjalanan singkat yang istimewa tersebut benar-benar ampuh menghilangkan penat kami. Dan biaya yang kami keluarkan pun tak lebih dari Rp.500.000,- . Ke Kota Istimewa dengan biaya istimewa. Next, saya pasti akan mengulanginya lagi.
Salam hangat  :)

Menikmati Jl. Imam Bonjol, Semarang

0

Beberapa minggu yang lalu, saya dan teman-teman saya sibuk berencana liburan ke Semarang. Sebenarnya saya dan teman-teman saya tak satupun yang pernah datang ke kota Semarang. Yang kami tahu dari Semarang hanya Lawang Sewu dan Simpang Lima.

Beruntunglah kami karena salah satu dari kami memiliki teman di Semarang yang bersedia mengantar kami berkeliling kota Semarang. Mengantar ke hotel, serta menjemput kemanapun kita ingin menghabiskan waktu.

Semarang, ternyata panas membara. Saya pikir Jakarta serta perbatasannya adalah tempat terpanas yang pernah saya keluhkan. Tapi Semarang, khususnya Semarang bawah, sanggup membuat saya merasa haus berkepanjangan.

Well, acara berkelana di Semarang kita lalui sesuai rencana. Hanya saja soal makanan di Semarang kurang cocok dengan hobby kami yang suka kuliner pedas. Masalah harga hampir sama dengan Jakarta dan sekitarnya. Tahu gimbalnya juga enak, dengan es kelapa muda yang benar-benar sanggup membereskan masalah kehausan saya.

Sebelum pulang, setelah singgah di hotel untuk istirahat sebelum kembali ke Jakarta, saya sengaja mengajak teman saya untuk menikmati Semarang di sore hari. Kebetulan kami menginap di salah satu hotel di Jl. Imam Bonjol. Yang saya pernah baca bahwa rumah keluarga dari Pierre Tendean berada di jalan tersebut. Jadi hitung-hitung menikmati jalan yang mungkin pernah dilewati oleh pahlawan tersebut.

Jl. Imam Bonjol terletak di daerah Poncol. Kondisi jalan yang ramai, pepohonan yang masih lumayan banyak dan besar-besar, serta bangunan-bangunan tua yang hampir rusak menemani perjalanan sore kami. Sedang asik bercengkrama menikmati sore sambil berjalan kaki, ternyata kami harus melewati seseorang yang sedang duduk, tanpa berpakaian, dan berbicara sambil tertawa tanpa ada lawan bicara.

Saya dan teman saya -Iedha- kalut, tak tau apa yang harus kami perbuat. Kami seperti tersesat dalam kehidupan lain. Penampakan kami saat itu seperti sepasang kekasih yang tak ingin melepaskan satu sama lain. Tubuh kami merapat, jari jemari kami bersatu dalam genggaman. Kaki-kaki kami melemah seperti lilin yang terbakar, jantung kami seperti bedug saat malam takbir. Kami berdiam diri kami sungguh tak sanggup, kami ingin berlari pun sungguh di luar kuasa kami.

Sedangkan seseorang di hadapan kami -laki laki tak berpakaian- terus memandangi kami, memanggil manggil kami dengan sapaan, "mbak, mbak, mbak". Tangannya terjulur-julur. Semua keberanian kami sirna, meluluh semua kekuatan sampai daya terakhir. Kami mencoba tetap berjalan dengan kaki-kaki gemetar. Sambil berpura-pura tidak melihat orang tersebut, dan sesegera mungkin kami memanggil becak.

Saya rasa saya kapok untuk berjalan kaki lagi lain kali jika saya ke jalan itu. Mungkin saja Pierre Tendean pernah berjalan kaki di jalan itu, tapi saya rasa laki-laki-setengah-tua-yang-tak-berpakaian-dan-bicara-sendiri itu belum ada. Atau mungkin ada dalam versi lain ? Hhmm, bisa jadi.

Tapi Jl. Imam Bonjol masih memberikan kesan tersendiri bagi saya. Lain kali saya tulis lagi peninggalan rumah bekas keluarga Pierre Tendean di Semarang.

Salam hangat 😻😻

Friday 29 August 2014

Mati Suri

0

Setelah beberapa waktu lalu saya memutuskan untuk membunuh blog saya yang terdahulu, hari ini saya rindu juga untuk bercerita tanpa berkata, dan berkata tanpa bersuara. Walau saya sadar bahwa tulisan ini tidak dibaca banyak orang, tapi setidaknya saya bisa menyimpannya tanpa harus takut akan kertas yang lapuk, sobek dimakan pengerat, atau akan berakhir tragis di tempat pembuangan akhir.

Beberapa hal mungkin memang ada harus yang hilang dari hidup kita, seperti hal-hal buruk terdahulu yang tidak harus kita kenang atau hal-hal menyakitkan yang akan selalu menyedihkan bila dikenang.

Seperti halnya blog ini yang bisa dihidupkan kembali, maka tak semua hal bisa diberlakukan hal yang sama. Kadang saya merasa rindu dengan hal-hal yang sudah pergi, bahkan belum pernah bertemu pun bisa juga rindu. Mungkin terlalu hiperbola, tapi pasti ada juga yang merasakan hal demikian. Seperti rindu ingin kembali di saat kita dikelilingi oleh orang-orang tersayang yang satu persatu pergi, atau rindu dengan seseorang yang hanya kita ketahui kisahnya dari cerita atau sumber-sumber bacaan.

Tapi apapun itu, kita tidak mempunyai kekuatan apapun untuk mendatangkan yang pernah hilang atau menghidupkan lagi apapun yang pernah musnah. Kecuali sebuah kenangan. Karenanya, hanya kenangan-lah yang selalu bisa mati suri selama kita tidak amnesia.

Salam hangat. :)