Friday 5 December 2014

Jalan Terus ke Pura Parahyangan Agung Jagatkarta

0



Hoha, ternyata sudah lama sekali saya tidak corat-coret memperbarui blog ini. Sebenarnya masih ingin terus menulis, tapi apa daya, saya terlalu asyik mengumpulkan banyak cerita dari orang-orang baru yang saya temui akhir-akhir ini.

Seperti bulan kemarin, sebelum Hari Pahlawan, saya dan teman-teman yang berkumpul dari beberapa teman saya, adik saya, teman dari teman saya, serta teman adik saya (kok ribet amat , yak ?) berkelana ke Dataran Tinggi Dieng.

Tapi sayangnya teman dekat saya tidak bisa bergabung untuk turut serta ke Dieng. Alhasil, kami berkelana ke Bogor. Sebenarnya tujuan wisata ke Bogor ini sudah kami bicarakan sejak Ramadhan tahun ini (2014), tapi baru sekarang ini kami sempat menyambanginya.

Tujuan kami ke Bogor adalah bukan tanpa alasan, tapi kami beralasan bahwa kami sudah jenuh terlalu lama mengurusi urusan dapur dan rumah tangga (oke, abaikan). Hasil dari menemukan Cagar Budaya di Kota Bogor, ada satu tempat yang menarik bagi kami untuk dikunjungi. Pura Parahyangan berhasil menarik minat dan rasa penasaran kami untuk segera ke sana. Tapi kami menunggu musim hujan datang agar pemandangan pura yang konon terletak di bukit akan terlihat lebih dramatis karena berkabut (harapannya sih, gitu).

Perjalanan hari itu diawali sejak pagi hari, dengan Commuter Line pagi kami bertemu di St. Manggarai, lalu lanjut ke St. Bogor. Sampai di Bogor sekitar pukul 10 pagi. Kami lalu menaiki angkot dengan bertanya-tanya di mana  letak Pura Parahyangan yang kami cari.

Oke, kita start dari BTM (Bogor Trade Mall), di sana bisa tanya petugas DLLAJ atau Polantas untuk menunjukkan angkot mana yang menuju pura. Kami pun akhirnya menyewa angkot untuk sampai di pura dengan 20 ribu rupiah saja, karena tidak semua angkot melawati atau sampai ke Pura Parahyangan.

Perjalanan lumayan jauh dan berliku, kondisi jalannya juga sempit, khas daerah pedesaan. Setelah kurang lebih 30 menit, kami sampai di jalan menuju pura. Perjalanan menuju pura bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik ojeg. Berjarak sekitar 1KM, dengan medan menanjak :D

Sampai di tujuan, tidak ada tarif khusus, seikhlasnya saja. Kami juga dipinjamkan kain selendang untuk diikatkan di pinggang. Kami juga disambut oleh pengelola pura yang saat itu sedang ada acara sembahyang. :)



Selendang 

Kami tidak terlalu lama di sana, karena di sana tidak ada tempat untuk sholat, jadi kami harus segera keluar dari areal pura untuk bisa melaksanakan sholat dzuhur. Untuk wanita yang sedang datang bulan juga tidak bisa masuk ke areal pura ya, karena bagaimanapun sama saja dengan tempat sembahyang agama lainnya yang dijaga kesuciannya ;)

Penjaga Pura
Berfoto di bagian dalam pura

Karena sore ini kami akan berkumpul bersama di tempat favorit kami, jadi lain waktu saya ceritakan perjalanan kami selanjutnya. Saya akan share lagi perjalanan kami setelah dari Pura Parahyangan ini dan masih di daerah yang sama. Kami akan selalu jalan terus sampai kami rasa bahwa kami cukup. Terima kasih sudah mampir :)

Friday 31 October 2014

Berkunjung ke Taman Makam Pahlawan Kalibata

7

Hal biasa yang terjadi dengan saya adalah tamasya tanpa rencana. Misalnya teman mengajak ke suatu tempat, bisa saja saya langsung meng-iya-kan. Tentunya di luar jam kerja dan di akhir pekan. Itu pun jika sedang tidak ada acara keluarga yang tidak bisa diganggu gugat.

Seperti pada suatu hari minggu, teman saya Rikha mengajak untuk berkunjung ke Museum di Tengah Kebun. Dia sudah melihat info dari salah satu acara di televisi. Well oke, kami pergi hari sabtu pagi. Ternyata Rikha ada janji dengan teman kantornya yang kebetulan tinggal di sekitar Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dia bilang, "Kebetulan kemaren gw denger rumahnya di deket Makam Pahlawan Kalibata, jadi sekalian aja kita ajak dia muter-muter." .. Haha . Rikha memang cerdas !! Dan sungguh keterlaluannya saya karena lahir besar di Jakarta tapi belum pernah sekalipun ke Makam Pahlawan tersebut. *hiks*


Karena tidak terencana, jadi kami tidak menyiapkan apapun untuk membawa hal-hal wajar untuk berziarah ke pemakaman. Ahh sedihnya, padahal saya penggemar Pahlawan Revolusi. Tapi tak apalah, setidaknya saya bisa menengok dan mendoakan dari dekat pahlawan-pahlawan di sana. Tidak lama menunggu, teman Rikha datang, ternyata seorang bapak. Beliau bilang sedang ada acara pemakaman juga di dalam, tetapi makam masih bisa untuk dikunjungi.


Karena si bapak sudah akrab dengan para security dan penjaga makam tersebut, kami pun masuk dengan bebasnya (bahkan sampai saat ini saya tidak tau prosedur resmi apa yang digunakan untuk berkunjung ke komplek pemakaman tersebut). Rupanya kami masuk melewati pintu samping, yaitu pintu yang biasa digunakan untuk jalur keluar.



dinding halaman samping.1
dinding dalaman samping.2

Si bapak sibuk beramah-tamah dengan para penjaga di sana, dan kami sibuk foto-foto di tembok yang bertuliskan para pahlawan yang di makamkan di tempat tersebut. Tak lama kemudian si bapak mengajak kami untuk berkunjung ke makam Pahlawan Revolusi. Yahaa, si bapak tau saja bahwa saya memang penasaran dengan makam mereka. Di sana berjajar lima makam jenderal yang beragama muslim.

Makam Pahlawan Revolusi

Makam Jenderal Ahmad Yani

Makam Jenderal Suprapto

Makam Jenderal M.T. Haryono
Makam Jenderal S. Parman

Makam Jenderal Sutoyo

Di atas makam mereka ada makam pahlawan Kapal Tujuh yang terkenal itu, makamnya lumayan besar dari ukuran biasa karena memang ada 21 pahlawan yang dimakamkan jadi satu. Lalu kami diajak ke makam Ibu Ainun Habibie yang diatasnya adalah makam Jenderal Nasution.


Makam Pahlawan Nusa (Kapal Tujuh)





Beruntunglah kami diantar oleh bapak teman Rikha tersebut, sehingga kami bebas mengambil gambar sesuka hati kami (tapi tetap pakai tata cara berziarah makam, lho). Saat kami hendak menuju tugu untuk mengambil gambar, si bapak bercerita bahwa ayahnya ikut mengangkat jezanah Pahlawan Revolusi dari sumur tua di Lubang Buaya. Beliau menceritakan keadaan di sana pada saat itu sampai dengan kondisi jenazah saat diangkat dari dalam sumur.

Saya penasaran sekali dengan cerita beliau, dan rupanya cerita beliau hampir sama dengan cerita yang pernah ada di buku-buku saat proses pengangkatan tersebut, hanya bedanya kami mendengar langsung cerita dari anak saksi mata. (oke skip :D)



Tugu Makam Pahlawan Nasional Kalibata

Setelah dari tugu, kami  menuju ke makam pahlawan yang beragama non-muslim, terutama korban Gerakan 30 September. Tidak terlalu jauh dari tugu kami pun sudah masuk areal pemakaman agama Hindu, Budha, dan lalu Kristen yang tidak terlalu jauh dari pintu masuk. Ada juga ruang pameran profil nama pahlawan yang dimakamkan di tempat tersebut.


Makam Kapten Pierre Tendean
Makam K.S Tubun


Makam Istri Jenderal D.I Pandjaitan

Setelah puas berkeliling dalam panas siang itu, kami pun segera meninggalkan areal pemakaman pahlawan tersebut. Saat akan menuju pintu keluar, barulah kami menemukan peraturan mengunjungi makam. Jadi teman, apapun yang kami lakukan di dalam areal Taman Makam Pahlawan Kalibata adalah hal-hal yang melanggar tata tertib berkunjung. Apalah saya bisa melakukan hal tersebut di sana tanpa teman si Rikha. Bapak itu sungguh sudah banyak melancarkan acara jalan-jalan tanpa rencana kami yang ternyata sangat mengesankan.

Entah apa dan kemana perjalanan saya selanjutnya, jika memang berkesan, berkenan, dan bermanfaat, pasti saya share lagi di sini. Karena saya akan bersiap untuk menyambut senja, sampai di sini dulu, yaa ..

Salam hangat :)


Friday 17 October 2014

Aku Bukan Jamilah oleh R. Juki Ardi

0

"Aku Jemilah ... sampai nanti pun aku tetap Jemilah"

Itulah tulisan yang ada pada cover depan buku yang ditulis oleh R. Juki Ardi. Tidak terlalu tebal, hanya sekitar 130 halaman saja. Berisi tentang pengalaman Jemilah, seorang gadis kampung kelas 2 SMP dari pedalaman Pacitan, Jawa Timur. Dia dituduh serta dipaksa untuk menandatangani proses-verbal sebagai Atika Jamilah.

Pengantar buku ini ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer, sahabat sang penulis. Dan penulisnya sendiri adalah suami ke dua dari Jemilah.

Jemilah bercerita, ia masih sangat muda saat dipaksa menikah oleh orang tuanya. Dia dikawinkan dengan Haryanto dan diboyong ke Jakarta. Beberapa bulan tinggal di Jakarta meletuslah apa yang dinamakan Peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S) pada 1 Oktober 1965. Peristiwa dimulai dengan penculikan beberapa orang jenderal yang kemudian dibunuh dan mayatnya dibuang di sebuah sumur mati di Lubang Buaya.

Peristiwa berkembang cepat. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan segera menyimpulkan dan menuduh bahwa di balik peristiwa ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Haryanto yang ternyata tokoh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi pada PKI mulai merasa terancam keadaannya.

Dalam keadaan terpaksa ia meminta Jemilah untuk segera pulang kampung. Tapi belum sampai di terminal bus, Jemilah tertangkap oleh segerombolan militer yang mencari anggota Pemuda Rakyat (PR) yang bernama Atika Jamilah. Menurut militer, Atika Jamilah adalah peserta latihan di Lubang Buaya yang ikut mencungkil mata para jenderal sebelum akhirnya dibunuh.

"Kalau begitu adanya, ternyata suamiku pilihan mereka seorang pembunuh. Yang dibunuh tak tanggung-tanggung, tujuh jenderal. Bukankah jenderal itu orang-orang yang tinggi pangkatnya dan dijaga ketat oleh anak buahnya? Apa perlunya Mas Har membunuh mereka? 'Turun! Turun! Semua turun! Baris di sana! Ayo cepat!'

"Serdadu mencegat oplet yang kami tumpangi, kami disuruh turun dan ditarik oleh seseorang berpakaian serba loreng.
"'Turun! Turun! Mana yang namanya Jamilah?'
"'Kamu siapa?'
"'Saya supir oplet, Pak.'
"'Kamu Pekai, ya? Pe-er, apa Lekra?'
"'Bukan, Pak, saya bukan mereka. Saya rakyat biasa, Pak'
"'Rakyat! Rakyat apa kamu, he?"
"Prak, prak, bug! Bug! Brak! Brak! Tanpa alasan jelas sopir oplet telah menjadi bola hidup. Sebentar saja wajahnya sudah tidak nampak aslinya. Mukanya hancur dihantam popor senapan. Setiap serdadu menghantamnya.
"'Tidak ada rakyat, yang ada Pekai!'
"'Saya bukan Pekai, Pak, benar.'
"'Benar! Kamu bohong! Siapa yang kamu bawa?'
"'Mereka itu penumpang saya, Pak.'
"'Brak! Prak! Dug! Brak! Mereka kesetanan lagi menghajar supir nahas itu sampai pingsan dan tubuhnya dibiarkan tergolek di tepi jalanan berdebu.

"'Siapa yang namanya Atika Jamilah? Hayo ngaku!'
"'Angkat tangan, siapa Jamilah!'
"Aku diam, nama yang dicari mirip dengan namaku. Tetapi aku Jemilah, bukan Atika.
"Seseorang yang mengenakan pakaian hijau dengan tanda kuning ditekuk di lengannya berteriak kencang seraya mengeluarkan senapan pendeknya. Aku merasa takut, tetapi hendak mengaku juga lebih takut. Maka ketika seorang dari mereka mendekatiku aku berkata, 'Saya Jemilah, bukan Atika Jamilah, Pak. Saya dari Pacitan.'
"'Lonte Gerwani!'
"'Dasar pemberontak! Beraninya kamu mempermainkan kami. Ditanya dari tadi diam saja.'

"Tidak sempat aku menerangkan dan bertanya, badanku sudah dihujani dengan popor senapan dan bertubi-tubi ditendang pakai sepatu berlaras besi.
"Kulihat tentara baru datang, mereka agak sopan dan tidak memukuliku.
"'Kamu siapa?'
"'Saya Jemilah, Pak,' jawabku sambil membenahi pakaianku yang tersingkap.
"'Bukan Atika Jamilah? Kamu ikut ke Lubang Buaya?'
"'Saya Jemilah dari Pacitan, Pak.'
"'Coba lihat tangannya itu.'
"Seorang tentara berbaret merah muda mendekatiku dan meminta kedua tanganku untuk ia lihat. Setelah mengamati dengan teliti ia menyuruh menggosokkan kedua telapak tanganku keras-keras. Lalu ia mencium hasil gosokan tanganku.
"'Bagaimana?'
"'Nihil, Pak.'
"Aku tidak tahu mereka berbicara apa, tetapi dari mulut sang komandan aku sedikit mendengar ujung kalimatnya, 'Aku juga tidak yakin dia anaknya'

"Mereka menyuruh kami semua naik ke jip. Komandan memerintahkan ke KOTI. Aku tak tahu arti kata itu. Yang aku tahu, jip membawa kami masuk ke sebuah halaman besar dan di depannya dipenuhi gedung-gedung besar.
"Kami digiring masuk ke sebuah ruangan besar tempat tentara berbaju hijau sedang membicarakan sesuatu.
"'He, Gerwani, kemari kamu keluar dari rombongan.'
"Aku bingung kenapa aku dipanggil Gerwani. Apa itu Gerwani? Padahal dari tadi aku menyebut namaku Jemilah. Lalu aku dibawa ke ruang yang lebih kecil. Aku didorong sehingga aku hampir terjerambab. Mereka menyabet punggungku, dan kemudian aku merasakan ada yang meleleh di punggung.
"'Kamu yang menari-nari sambil menyiksa jenderal-jenderal di Lubang Buaya, kan?'
"'Saya tidak pernah di sana, Pak. Saya selalu di rumah.'
"'Kamu kan menyaksikan semua kejadian di sana. Jangan mengelak!'
"'Saya sudah jujur, Pak. Saya tidak mengerti semua yang Bapak tanyakan.'

"'Lalu tubuhku menjadi bulan-bulanan serdadu, badanku diseret, ditendang, dipukul, dan dijambak. Mereka sibuk menyiksaku, dianggapnya tubuh ini karung pasir yang tak bernyawa.
"Komandan memberi tanda bahwa siksaan dihentikan.
"'Bawa ia ke sel wanita.'
"Di dalam sel sudah bejubel penghuni. Semua wanita. Rata-rata berusia lebih tua daripadaku. Kepalaku seolah berputar, berkunang-kunang, lalu semua gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi.
"Begitu mataku terbuka, pakaianku sudah disalini, aku tidak tahu oleh siapa. Badanku sudah tidak bau darah lagi seperti semalam. Seorang ibu duduk di sisi kepalaku. Menyisir rambutku dan diikat dengan karet bekas talui bungkus nasi catu.
"Aku sudah menggunakan daster yang ternyata milik Bu Trimo, memang kebesaran, tapi supaya terkesan lebih tua kata mereka. Mereka merawat aku sampai benar-benar sembuh dari lukaku. Dan ternyata beberapa tulangku sudah patah.

"Hari ke tujuh setelah aku di dalam sel, aku dipanggil untuk diperiksa. Seorang pengawal membuka pintu. 'Kamu Jamilah, ya?'
"'Jemilah," kataku membenarkan kesalahannya.
"'Ya, siap-siap mau diperiksa oleh Mayor Nafi.'
"Dihadapanku telah berdiri dua serdadu dengan pangkat merah ditekuk satu. Mereka mengawasiku dengan mata jalang. Sebelum mereka mendekatiku, masuk Mayor Nafi dengan dua anak muda. Seorang dari mereka membawa tustel besar.
"'Ini yang aku bilang Atika Jamilah. Srikandi Lubang Buaya.'
"Mulutku terkunci tidak berani membetulkan kesalahan ucapan sang Mayor.
Dua pemuda mengawasiku. Seorang menyetel tustelnya, seorang lagi menanyaiku.
"'Saya bukan Jamilah, saya Jemilah.'
"Pemuda tersebut bengong lalu ia menoleh ke arah Mayor Nafi.
"'Jangan di dengar, mereka memang suka mengelak. Itu termasuk keahlian Pekai.'
"'Tapi saya memang bukan Jamilah, Pak...'
"Belum habis menerangkan, sepatu Mayor Nafi sudah ada di mulutku, darah mengucur. Kukira gigiku ada yang tanggal, paling tidak bibirku sobek.
"'Pral! Mayor memanggil bawahannya. Yang dipanggil bergegas.
"'Urus ini."
"'Siap, Pak."
"Ia mendekatkan mukanya ke wajahku hingga hampir nempel. Lalu ia mengambil sesuatu dari bawah lemari.
"'Pegang ini, jangan menolak kalau kamu ingin tetap selamat dan hidup.'
"Aku tidak segera menerima apa yang ia berikan. Benda itu mirip arit, tapi agak kecil sedang yang tajam hanya sebagian. Aku amati sejenak. Belum pernah kulihat alat semacam ini sebelumnya.
"'Pegang ini! Ini kan alat yang kamu gunakan untuk mencongkel mata bapak-bapakku di Lubang Buaya?!'
"'Saya tidak melakukan hal itu, Pak.'
"'Diam!' Aku dibentak sambil tangannya meraih rambutku. Ia pelintir rambutku hingga kepalaku serasa hampir copot. Aku diseret sampai tempat Mayor dan dua pemuda tadi menunggu. Aku digiring, dibawa ke bawah pohon rambutan yang rindang, di halaman belakang kantor.
"'Berdiri di sana, Mbak, di bawah pohon itu.' Pemuda yang memegang tustel mengatur di mana seharusnya aku berdiri. 'Alat itu diangkat lebih tinggi lagi, ya, tinggi lagi. Ya, baik.' Lalu kilat lampu terang dari tustel menerkam mataku hingga jadi silau.


Seperti yang ia tulis di buku hariannya: Di negeri ini ada sebuah orde yang berdiri di atas genangan darah dan air mata rakyatnya. Pilar-pilar kekuasaannnya disangga oleh pembantaian yang dibiayai dari pajak rakyat yang dibantai.
Di sebuah koran terbitan lama, ada gambar seorang gadis dengan daster kebesaran. Di tangannya ada sebuah alat sadap karet yang bentuknya seperti celurit kecil. Di bawah gambar tertera tulisan: ATIKA JAMILAH, SI PENYONGKEL MATA PARA JENDERAL.


Aku Bukan Jamilah
Oleh R.Juki Ardi
PT. Alex Media Komputindo
Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta.


Semoga bermanfaat.
Salam hangat :)

Thursday 16 October 2014

Kursor Cantik

0



Hallo,.. Tulisan saya ini untuk membantu siapapun yang ingin mempercantik blog dengan tampilan kursor yang lucu, cantik, dan pastinya tidak membosankan.
Kali ini bisa dicoba beberapa kursor lucu dan cantik di bawah ini ...




http://icons.iconarchive.com/icons/bambulu/sailor-moon/32/ribbon-icon.png



http://icons.iconarchive.com/icons/fasticon/valentine/24/love-chat-icon.png



http://icons.iconarchive.com/icons/ilovecolors/easter-bunny-egg/32/easter-Bunny-RSS-EGG-icon.png



http://icons.iconarchive.com/icons/raindropmemory/red-little-shoes/32/Bear-User-icon.png



http://icons.iconarchive.com/icons/klukeart/matryoshkas/64/Matryoshka-01-icon.png



http://icons.iconarchive.com/icons/dunedhel/geisha/48/Geisha-Korea-red-icon.png



http://icons.iconarchive.com/icons/youthedesigner/christmas-graphics/32/candy-icon.png


Cara memasangnya pun sangatlah mudah, mungkin banyak yang sudah tau. Tapi tenang saja, saya akan beri tau caranya :)

Pertama-tama, masuk ke Blogger Dashboard  ->  Layout  ->  Add a Gadget  -> HTML Java/Script

Kemudian masukkan kode di bawah ini dalam box HTML Java/Script ..

<style type="text/css">body, a, a:hover {cursor: url(URL CURSOR), progress;}</style>

Untuk tulisan yang saya beri warna merah, diganti dengan kode URL pada gambar yang kamu inginkan, misalnya untuk gambar terakhir, maka akan seperti ini ..

<style type="text/css">body, a, a:hover {cursor:url(http://icons.iconarchive.com/icons/youthedesigner/christmas-graphics/32/candy-icon.png ), progress;}</style>

Lalu jangan lupa di-save, yaa. Setelah melalui semua proses tersebut, kamu bisa melihatnya dengan memilih View Blog. Maka kursor kamu akan berubah. Selamat mencoba, semoga berhasil yaaa .. :)


Salam hangat ;)


Tuesday 14 October 2014

Sebuah kenangan, sejuta rindu ..

0

Entah tahun keberapa saya sudah tidak bisa melihatnya lagi, bahkan saya hampir lupa dengan garis-garis wajahnya. Terakhir dia datang, saya dikabari oleh orang tua saya bahwa dia datang berkunjung, Tapi karena saya sedang asik bermain dengan teman saya waktu itu saya berpikir bahwa lain waktu saya pasti berjumpa dengannya lagi, dan seakan obrolan seru saya dengan teman saya adalah hal yang tak akan terulang lagi. Sesampainya di rumah, ternyata dia sudah pergi. Kepergiannya yang menandakan bahwa saya tidak bisa bertemu dengannya lagi.

Saat terakhir saya bertemu, hal yang saya ingat adalah ketika beberapa hari setelah hari raya beberapa tahun lalu. Dia makan hanya dengan sambal goreng kentang menggunakan piring kecil biasa dan porsi yang sangat sedikit. Tidak lama memang dia singgah, dan saat berpamitannya pun saya lupa. Yang saya ingat adalah ketika saya menatap piring bekas wadahnya makan, lama sekali, seakan piring itu adalah benda terakhir yang bisa saya kenang dari dia. Dan ketika dia datang lagi, benar saja, dengan bodohnya saya mementingkan obrolan tak tentu arah saya dengan teman-teman saya :,(

Saat saya kecil, kami masih tinggal bersama. Sosoknya pendiam, tapi dia banyak cerita tentang hal-hal aneh yang tidak masuk akal (menurut saya). Dia rajin membuatkan saya dan adik saya mainan tradisional dari kaleng bekas, dari karton, hingga dari buah kelapa yang masih kecil. Saya sering diajak duduk di warung jamu langganannya. Tempat favorit saya ketika saya bersama dia adalah di pundaknya. Perawakannya tinggi jangkung, jadi ketika berada di pundaknya, maka seakan saya bisa melihat seluruh dunia di mata kecil saya. Dan jika sedang banyak uang, dia membelikan makanan, baju, hingga tas sekolah untuk saya dan adik saya. Bahkan kami sering diajak jalan ke tempat-tempat perbelanjaan dengan berjalan kaki, yang jika kini kami ingat ternyata kami telah berjalan cukup jauh saat itu - dengan berjalan kaki-.

Saya lupa sejak kapan dia meninggalkan rumah kami, yang saya sadar bahwa dia sudah tidak tinggal bersama kami lagi. Dia datang tidak menentu, tapi jika kami sudah terlalu rindu secara tiba-tiba dia datang. Begitu terus, mungkin itulah yang disebut dengan ikatan batin keluarga. Sampai akhirnnya saya kuliah di luar kota, dan saya tidak pernah bertemu dengannya (lagi).

Waktu itu semester awal saya di perguruan tinggi. Seorang kakak sepupu mengabarkan bahwa dia telah pergi, saya menerima berita itu setengah tidak percaya. Saya berpikir bahwa bisa saja dia masih ada dan dalam keadaan sakit, jadi saya masih bisa bertemu dengannya. Waktu itu saya langsung datang ke rumah sepupu saya yang kebetulan dia akan disemayamkan di sana. Keluarga saya di Jakarta juga mengabarkan bahwa dia akan di bawa ke rumah sepupu saya tersebut. Hari itu, saya akan bertemu dengannya, yang terakhir kali.

Sesampainya di rumah sepupu saya, dia belum datang. Tapi acara penyambutan sudah dipersiapkan se-detail mungkin. Nenek saya yang juga orang tuanya sibuk mempersiapkan anaknya pulang untuk bertemu terakhir kalinya. Sudah banyak keluarga dan juga para tetangga bahkan tetangga desa hadir untuk penghormatan terkahir kalinya. Ada yang sibuk mempersiapkan tempat sholat, merangkai bunga, sampai mempersiapkan nisannya.

Melihat namanya tertera di nisan membuat saya pilu, tapi saat itu saya mencoba untuk menguatkan diri saya bahwa semua pasti baik-baik saja. Saya duduk di antara para saudara dan tetamu sambil menunggu rombongan dari Jakarta yang mengantarkannya ke tempat terakhirnya. Banyak cerita simpang siur tentang keadaan terakhirnya, sampai saya mendengar hal yang sangat memilukan. Tanpa sadar saya berteriak, menjerit, dan menangis mendengarnya. Kabar tersebut membuat saya sungguh tak berdaya.

Dia ditemukan dalam keadaan sudah 'pergi' tiga hari sebelumnya, dia diantar oleh mobil jenazah dari RS. Cipto Mangukusumo. Dia pergi dengan cara yang sangat saya benci, dan saya benci dengan pelaku yang menyudahi waktunya untuk bisa bertemu dengan saya di sisa waktu kami. Saat ia sampai, saya sudah tidak bisa melihatnya lagi. Niat nenek untuk memandikannya pun pupus. Tubuhnya sudah tersimpan rapi di dalam peti jenazah. Bahkan dibuka pun tidak boleh. Saya kembali menangis sejadinya, berteriak seakan tidak sadar, bayangan-bayangan saat saya bersamanya berputar-putar di kepala saya. Saya hanya bisa pasrah, menatap petinya bergantian di-shalat-kan.

Saya mengantarkannya sampai tempat dia dimakamkan. Diiringi sanak saudara yang hadir saat itu. Saya hanya bisa menatapnya dari kejauhan karena saya wanita. Laki-laki yang mengambil peran dalam prosesi tersebut. Setelah selesai dimakamkan, saya baru berani mendekatkan diri pada pusaranya. Saya hanya ditemani kakak sepupu saya. Tak ingin rasanya meninggalkannya sendirian di dalam sana. Tapi keadaan kami sudah berbeda, alam kami juga berbeda.

Sungguh saya tidak memiliki apapun yang bisa saya ingat dari wajahnya. Saya tidak memiliki fotonya, bahkan prakarya yang pernah ia buatkan untuk saya dan adik saya pun sudah hilang entah kemana. Tas dan baju yang pernah dibelikannya pun mungkin sudah kami berikan untuk orang lain lagi. Yang bisa saya ingat dari dia adalah lagu yang sering ia nyanyikan, makanan yang pernah ia buat, serta kegemarannya saat ia masih tinggal bersama kami.

Dan ketika saya merindukannya, saya hanya bisa menikmati lagi perjalanan saat saya berada di pundaknya. Dan doa saya semoga ia di sana bahagia, bisa melihat saya yang selalu merindukannya, dan tau bahwa saya akan selalu menganggapnya ada, mendoakannya agar suatu saat nanti kami dapat berkumpul di kehidupan yang lain. Karena yang bisa saya lakukan saat ini adalah mendoakannya serta mengumpulkan jutaan rindu untuknya.


Tulisan ini didedikasikan untuk pakde saya, korban pembunuhan oleh anak jalanan.



Thursday 2 October 2014

MENGENANG PIERRE TENDEAN (Part.II)

5

Membahas tentang Pierre Tendean memang seperti tidak ada habisnya. Setiap hal dari beliau pastilah menjadi sebuah cerita yang menarik bagi saya. Untuk mengenangnya, saya akan menuliskan apa yang pernah saya baca dari sebuah sumber bacaan yang sudah cukup lama, dan mungkin sudah sangat sulit untuk di dapat.


Beruntung saya mempunyai teman yang mau berbagi segala hal tentang Pierre Tendean, yang beritanya dikumpulkan, lalu bisa diceritakan ke siapapun yang mengagumi sosok Pahlawan Revolusi termuda tersebut. Dan teman saya Yulia masih menyimpan sebagian info dari Majalah Intisari terbitan tahun 1989. Berikut adalah beberapa info yang bisa saya bagikan. :)




Hampir kebakaran

Pada suatu hari Natal kami berdoa sebelum bersantap. Ketika itu pohon terang belum dihiasi lampu-lampu listrik seperti sekarang, tetapi lilin-lilin dengan alas yang dijepitkan pada daun-daun pohon terang.

Rupanya karena doa kami yang berkepanjangan, lilin-lilin itu sudah keburu habis sebelum doa kami selesai. Kebetulan Pierre mengetahui hal itu. Karena kami pernah dimarahi ayah ketika ketahuan membuka mata saat berdoa. Pierre hanya berani menyenggol-nyenggolkan siku lengannya ke lengan saya untuk memberi tahu ada yang tidak beres. Tetapi saya juga takut dimarahi ayah. begitu doa selesai kami bukan menyerbu hidangan yang tersedia, tetapi memadamkan api yang sudah mulai menjalari pohon terang. (Roos Jusuf Razak)





Bereskan sesuai dengan sikon..

Melalui seorang dokter, Mitzi mengetahui bahwa Pierre mengalami juga penyiksaan yang luar biasa, "Selain bagian depan kepala yang menganga sepanjang beberapa sentimeter, kemaluan Pierre juga dipotong," katanya.


Kemudian diketahui bahwa penculik Pierre adalah Pelda (pembantu letnan dua) Djahurup dan Idris dari Cakrabirawa. Menurut Mitzie, dalam rekonstruksi diketahui bahwa ketika ditangkap kedua tangan Pierre diikat ke belakang. Ia didudukkan di bawah pohon, sambil menunggu pasukan para penculik itu berkumpul dan kendaraan pengangkut tiba. Setelah dinaikkan ke kendaraan militer itu Pierre ditelungkupkan dan diijak-injak.

Rekonstruksi Penculikan Lettu Czi. Pierre Tendean
Menurut si pelaku, sesampai di Lubang Buaya Pierre mengatakan bahwa ia hanya penjaga diesel di rumah Jenderal Nasution, namun siapa yang mau percaya jika melihat penampilan Pierre.

Dalam sidang, komandan Pasopati di Lubang Buaya, Mayor Gatot Sukrisno dari PGT (AURI), pada waktu itu masih menanyakan kepada Senko (Sentral Komando) di Gedung Penas (Jakarta-Timur) akan diapakan tawanan yang satu dan masih hidup ini (maksudnya Pierre Tendean). Jawaban yang datang berisi perintah untuk membereskan sesuai dengan situasi dan kondisi. Artinya, bunuh semua. Tetapi sebelum jawaban itu sampai, Pierre sudah dibunuh lebih dulu. "Meskipun pangkat saya lebih tinggi dari pangkat Djahurup, tetapi waktu itu yang namanya Cakrabirawa lebih berkuasa dan ditakuti," jawab Gatot Sukrisno, ketika kepadanya diajukan pertanyaan mengapa ia kalah pengaruh terhadap Djahurup, yang cuma pembantu letnan dua.

Menurut keterangan, Pierre ditembak oleh tiga orang. Ketika ia jatuh ke depan dan belum juga meninggal, Djahurup-lah yang kemudian membereskannya dengan melepaskan tembakan terakhir. Tindakan ini dilakukannya karena rupanya ia merasa gagal dalam tugasnya 'membereskan' Jenderal Nasution, meskipun putri Pak Nas, Ade Irma Suryani, telah menjadi koraban juga. Jadi ia tak akan melepaskan tawanannya seorang pun.

Dalam Buku Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid VI, Jenderal (Purn.) A.H Nasution menuliskan: "Menurut pengakuan anggota PGT Suprapto dan Suwandi yang juga di rumah Pak Basar, melihat kedatangan dua tawanan yang diikat tangan dan kakinya disiksa dengan kejam, kepalanya dipukul dengan senjata hingga lukanya menganga. Menurut Suparmo, anggota Pemuda Rakyat (PR), kedua tawanan tersebut waktu datang masih sadar dan disuruh jalan sendiri, kemudian dimasukkan ke kamar piket. Pierre disiksa terakhir dan harus menyaksikan penyiksaan dan gugurnya para jenderal. Secara beramai-ramai anggota Cakra, PGT, dan PR menyiksa Pierre, karena dialah yang paling gigih hendak melawan.

Anggota Cakrabirawa Supandi, dalam pengakuannya mengatakan bahwa ia telah melihat Pierre disuruh jongkok dan empat kali ditembak dari belakang, kemudian diseret ke sumur. Badannya penuh berlumuran darah."
"Konon para penyiksa itu diberi suntikan dulu, sehingga mereka tidak mengenal rasa takut," Mitzi memberi penjelasan.


Yuhu, itu dia yang bisa saya share dalam tulisan kali ini. Lain kali jika ada hal-hal seru lainnya pasti saya share lagi di sini. Terima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat.

Salam hangat ;)

Wednesday 1 October 2014

MENGENANG PIERRE TENDEAN (Part. I)

4



Seandainya Pierre Tendean masih hidup, tahun ini usianya genap lima puluh tahun. Namun nasib menghendakinya lain. Ia meninggal dalam usia relatif muda. Kakaknya, Ny. Mitzi Farre dan adiknya, Ny. Roos Jusuf Rajak, tetap menyimpan berbagai kenangan. Antara lain bahwa Pierre Tendean pernah menjadi pengemudi traktor.(Intisari,1989)











 Reuni SMA di Jakarta.. Seperti umumnya reuni, banyak sekali kenangan manis yang terungkap. Dalam kegembiraan itu saya juga bertemu dengan teman-teman Pierre dan tiba-tiba saya merasa sedih. Seandainya Pierre masih ada ... Tapi Pierre sudah lama pergi dan namanya kini dipakai untuk nama jalan.




Ulang Tahun Ibu

Tanggal 30 September adalah hari ulang tahun ibu kami. Beberapa hari sebelum tanggal 30 September 1965 Pierre memberi tahu ia tidak bisa pulang ke Semarang untuk merayakan hari itu bersama seluruh keluarga, karena ia harus bertugas sampai siang hari. Pierre adalah seorang ajudan Jenderal A.H Nasution. Ia berjanji akan pulang bersama suami saya keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965.

Tanggal 1 Oktober 1965, ketika suami saya datang menjemput ke rumah Pak Nas di Jl. Teuku Umar, ia heran sekali karena ternyata banyak tentara berjaga-jaga. Suami saya bahkan ditodong dengan senjata ketika memasuki rumah Pak Nas. Pierre tidak ada. Kata salah seorang penjaga, Pierre dan Pak Nas sedang pergi bertugas. Jadi suami saya pun pulang sendiri ke Semarang.

Begitu penuturan Ny. Roos Jusuf Razak, adik Kapten Anumerta Pierre Tendean.

Ternyata hari itu terjadi suatu kudeta oleh PKI, yang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI. Beberapa orang jenderal, dan juga Pierre, menjadi korban keganasan mereka. Berikut ini cerita kakak Pierre, Mitzi.

Sementara itu kami sekeluarga di Semarang tentu saja resah, karena Jenderal Nasution merupakan salah seorang yang diincar oleh manusia-manusia haus darah itu. Saya berusaha mencari informasi ke sana-ke mari.

Pada tanggal 2, 3, dan 4 Oktober radio mulai menyiarkan secara lebih jelas apa yang sebenarnya telah terjadi. Menurut berita, yang menjadi korban tujuh orang. Salah satu di antaranya adalah Lettu CPM Pierre Tendean. Walaupun nama adik saya disebut, saya masih belum yakin 100%, karena adik saya bukan dari CPM, tetapi Zeni.

Tak lama kemudian, telepon berdering. Jenderal Suryo Sumpeno mengabarkan Pierre sudah tiada. Meledaklah tangis kami.



Makan Gaplek

Adik saya, Pierre Andries Tendean, lahir pada tanggal 21 Februari 1939 di CBZ (sekarang RS. Cipto Mangunkusumo). Saya senang memperoleh seorang adik, karena berarti saya mempunyai teman setelah lima tahun bermain sendiri.

Di Jakarta kami tidak tinggal lama, karena ayah seorang dokter, ditugaskan di Tasikmalaya untuk membantu memberantas penyakit malaria. Di sini ayah jatuh sakit. Meskipun belum sembuh betul, ayah bersama keluarganya dianjurkan pindah ke Cisarua. Kemudian ia dirawat di Sanatorium Cisarua. Setelah sembuh ayah diminta untuk bertugas di sana sebagai dokter.

Pada masa inilah saya menyimpan banyak kenangan indah bersama Pierre. Rumah dinas yang kami tempati terasa sangat menyenangkan, dikelilingi gunung, sawah, dan halaman luas yang banyak ditumbuhi pohon murbai dan ceri.
Kalau padi menguning dan musim panen tiba, saya dan Pierre senang bermain-main di sawah. Dari batang padi yang sudah dipotong kami membuat sempritan.

Kemudian ayah dipindahkan ke Magelang, menjabat wakil direktur RS Keramat. Tak lama kemudian Jepang masuk. Kehidupan kami pun semakin sulit. Karena beras sangat mahal, terpaksa kami makan gaplek atau tiwul.

Sebagai kanak-kanak tentu saja saya dan Pierre belum mengerti arti susah yang sebenarnya, Tempat tinggal kami di Magelang juga hampir mirip dengan tempat tinggal kami di Cisarua. Di sini dilatarbelakangi Gunung Sumbing. Kami bisa main sepuas-puasnya, main perahu sampai berkubang di lumpur, piknik ke kebun kopi milik rumah sakit, dan mandi-mandi di pancuran. Semakin dilarang, Pierre semakin tidak mau meninggalkan sungai itu.

Pierre yang waktu itu masih duduk di SD sudah memperlihatkan sifat tanggung jawabnya yang besar terhadap masyarakat di sekitarnya. Jika sedang libur, ia sering membantu kawan-kawannya ke sawah untuk mencari siput, guna menambah lauk-pauk di rumah orang tua mereka.



Berkelahi menggunakan pisau

Pierre mulai masuk sekolah rakyat di Boton, Magelang. Untuk pergi ke sekolah, kami menggunakan dokar rumah sakit (semacam mobil dinas sekarang). Jika sedang dipakai untuk keperluan rumah sakit, terpaksa kami harus berjalan kaki sejauh beberapa kilometer.

Suatu ketika sisa-sisa gerombolan PKI yang terlibat dalam Peristiwa Madiun (1948), merampok keluarga kami dan membawa ayah. Ketika melihat kesempatan untuk melarikan diri, ayah menceburkan diri ke Kali Manggis. Karena malam sangat gelap akhirnya kaki ayah tertembak dan cacat seumur hidup. Kami sekeluarga terpaksa pindah ke Semarang, karena ayah harus dirawat di RS. CBZ (sekarang RS. dr. Karyadi), sehubungan kakinya yang tertembak sampai tulangnya pecah.

Dalam mendidik anak-anaknya ayah agak keras. Kami kenyang merasakan sapu lidi, ikat pinggang, maupun sandal.

Masa SMP dan SMA dilewati Pierre di Semarang. Dalam bersekolah Pierre lancar-lancar saja dan tidak pernah tinggal kelas. Ia juga memperoleh nilai yang baik dalam bahasa Inggris dan Jerman. Hal itu mungkin karena kami selalu berbahasa Belanda di rumah. Ketika masuk SMP dia memperoleh hadiah sepeda dan waktu masuk SMA ia memperoleh sebuah sepeda motor Ducati dari ayah. Ia sangat bangga pada Ducati itu.

Sekitar tahun 1957, sebagai anak muda adik saya itu juga pernah terlibat perkelahian antar sekolah dengan menggunakan pisau, sampai ada bekas luka di tangannya. Namun, dalam bergaul Pierre bisa menerima dan diterima di segala macam kalangan. Dari anak-anak para karyawan rumah sakit dan mantri, sampai tukang becak pun jadi.





Robert Wagner dari Panorama



Selesai SMA Pierre ingin melanjutkan pendidikan ke AMN di Bandung. Saya menyokong niatnya. Sebenarnya ayah ingin putra tunggalnya itu bisa melanjutkan tugasnya sebagai dokter. Menanggapi hal itu Pierre mengatakan, "Ah, dokter itu apa. Dokter iku mung bisa nambani borok (Dokter hanya bisa menyembuhkan luka)." Sementara ibu menginginkan putra kesayangannya itu menjadi insinyur.



Untuk tidak mengecewakan kedua orang tua kami, saya menyarankan Pierre untuk mengikuti tes masuk kedokteran di Jakarta dan ITB Bandung tanpa mengerjakan soal-soalnya. Akhirnya dia berhasil masuk ke AMN. Pak Nas menyarankan agar Pierre mengambil jurusan teknik, yaitu ATEKAD, dengan pertimbangan nanti ia bisa melanjutkan ke ITB atau fakultas teknik. Hubungan keluarga kami dengan kedua mertua Pak Nas di Bandung memang sangat erat, sampai Pierre menganggap mereka mereka orang tuanya sendiri.



Sebagai taruna ia memperoleh uang saku. Kadang-kadang ia menulis surat kepada ibu, "Seandainya Mami memiliki uang belanja lebih, tolong kirimi saya, karena saya ingin membeli film."



Sebagai taruna dan olahragawan yang memiliki bentuk badan yang atletis dan roman muka yang tampan, Pierre selalu menjadi pusat perhatian para gadis ramaja. Oleh gadis-gadis Bandung Pierre dijuluki Robert Wagner dari Panorama. Robert Wagner adalah bintang film Amerika yang terkenal, sedangkan Panorama adalah nama tempat pendidikan ATEKAD di Bandung.







Pada waktu pemberotakan PRRI meletus, Februari 1958, Pierre masih menjadi taruna. Setelah mendapat latihan dasar kemiliteran dan berbagai macam teori dan kecakapan militer lainnya, ia bersama kawan-kawan seangkatannya dikirim ke Sumatra untuk menghadapi PRRI. Itu merupakan suatu latihan praktek lapangan serta pengalaman militernya yang pertama.

Tahun 1962 Pierre lulus dari ATEKAD dengan nilai sangat memuaskan. Saya sendiri menghadiri pelantikannya, Ketika Dwikora dicetuskan, segera Pierre yang berpangkat letnan dua itu ditugaskan sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II Bukit Barisan di Medan. Tahun 1963 ia mendapat panggilan untuk masuk Sekolah Intelijen di Bogor. Selama pendidikan itu ia ditugaskan untuk memimpin suatu kelompok sukarelawan yang akan mengadakan penyelundupan ke daerah Malaysia. Ia berhasil menyusup tiga kali. Pada penyusupan yang ketiga kalinya speedboat yang ditumpanginya bersama anak buahnya dikejar sebuah kapal Inggris. Untuk menyelamatkan diri, ia bersama anak buahnya terjun dan berenang ke arah perahu nelayan. Dengan bergantungan dan seluruh badan terbenam dalam air, akhirnya mereka bisa melepaskan diri dari sergapan musuh.


Suka sambal bajak

Ketika sering menyelundup ke Malaysia itulah Pierre sempat berbelanja. Masing-masing anggota keluarga mendapat oleh-oleh. Saya mendapat sebuah T-shirt merah biru dan raket tenis yang masih saya simpan sampai sekarang. Kami berdua memang mempunyai beberapa hobi yang sama dalam musik, film, maupun olahraga. Ayah dibelikan sebuah jam tangan dan rokok Commodore. Sedangkan untuk dirinya sendiri Pierre membeli sebuah jam tangan, jaket, dan pakaian dalam. Saya selalu ingat pesannya saat ia memberikan raket itu kepada saya, "Ojo didol, lho (jangan dijual, ya)." Barang-barang itu dibeli Pierre dengan uang sakunya. Waktu itu ia memperoleh uang saku yang lumayan besar, karena tugasnya mengandung resiko besar.

Di mana pun ia berada, Pierre selalu menyempatkan diri untuk mengirim surat, baik kepada orang tua kami, maupun saya dan adiknya.

Dalam sebuah surat Pierre menceritakan bahwa ia selalu dijadikan penerjemah oleh atasannya kalau ada tamu dari kapal asing di Pelabuhan Belawan, " Waktu-waktu begitu aku selalu bisa makan enak." ceritanya.

Jika kebetulan sedang libur Pierre selalu menyempatkan diri pulang ke Semarang. Jika tahu Pierre akan pulang, ibu selalu sibuk menyediakan makanan kegemarannya yaitu kue sus, sirup manis, ayam panggang, dan sambal bajak, sampai-sampai semasa masih di ATEKAD ia selalu minta dikirimi kalau ada kenalan yang kebetulan ke Bandung.


Jadi pengemudi traktor

Pada saat itu Pierre sudah tahu bahwa ia akan dijadikan ajudan Pak Nas menggantikan Kapten Manulang yang gugur dalam menjalankan tugasnya di Kongo. Ibu merasa senang. Soalnya, selama ini ia tidak pernah bisa tenang memikirkan putranya ini, yang sering tidak diketahui tempat tugasnya. Dari keempat ajudan Pak Nas, Pierre-lah yang termuda.

" Pierre Tendean adalah seperti adik kandung bagi saya dan istri saya. Mungkin sekali karena pengaruh sayalah ia menjadi taruna, karena orang tuanya sebenarnya semula tidak setuju. Ia tinggal di rumah saya sebagai salah seorang anggota keluarga biasa," tulis Jenderal (Purn.) A.H Nasution dalam Buku Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid VI.




Berlawanan dengan ibu, Pierre merasa lebih suka bertugas di lapangan. Maka ia pun mengajukan syarat, " Aku cuma mau bertugas sebagai ajudan selama setahun. Tidak lebih. Kalau diperpanjang, aku akan menghadap Kasad (yang waktu itu dijabat oleh Jenderal A. Yani) untuk minta pindah." katanya. Ternyata Pierre harus bertugas enam bulan, ketika peristiwa yang merenggut nyawanya itu terjadi.

Pada waktu menjadi ajudan Pak Nas, Pierre berpangkat letnan satu. Untuk menambah gajinya, setiap malam ia menjadi pengemudi traktor di Monas untuk meratakan tanah jadi satu. Waktu itu Monas belum jadi. Dan hasilnya, Pierre ingin memiliki TV yang sudah dipesannya. Waktu itu barang masih sulit diperoleh, sehingga harus pesan dulu kalau mau beli.



"Aku titip adikku, Mas."

Waktu adik saya menikah dengan Jusuf Razak, Pierre memberikan uang dibungkus dengan koran kepada ibu, " Mam, ini sumbangan saya untuk pernikahan Roos," katanya. Uang itu rupanya gaji yang dikumpulkannya selama tugas Dwikora. Dari dolar, uang itu dirupiahkannya, sehingga kelihatan banyak.


Jika ingat waktu menikah, Roos selalu ingat pada saat ia saling berpandangan dengan almarhum.

Ada satu hal yang tidak pernah bisa saya lupakan pada waktu pernikahan saya itu. Sebagai kakak tentu saja Pierre menasehati saya. Ia juga menanyakan apakah saya memang sudah siap untuk berumah tangga. Saya menikah pada tanggal 2 Juli 1965. Ketika harus menandatangani surat nikah, Pierre menangis memeluk saya dan saya pun menangis di dadanya. Untuk beberapa saat saya tidak sanggup menandatangani surat nikah itu. Kepada suami saya ia mengatakan, "Mas, aku titip adikku dan tolong jaga dia." Itulah terakhir kalinya saya bertemu dengan Pierre.

-Mitzi, kakak Pierre masih sempat bertemu adik laki-lakinya sebulan sebelum peristiwa berdarah itu terjadi.-

Pada waktu itu saya akan kembali ke Semarang dan Pierre mengantar saya ke Stasiun Gambir. Ketika dia mencium saya, pipinya terasa dingin, karena waktu itu masih pagi. Pierre  menggunakan celana hijau dari bahan teteron dengan kemeja berwarna kecoklatan. Saya tak akan pernah melupakan lambaian tangannya ketika kereta yang saya tumpangi bergerak menjauh. Rupanya itulah lambaian tangan terakhir sebagai tanda perpisahan kami selama-lamanya. Namun, melaui telepon kami masih sempat berhubungan satu kali lagi.

Menurut penuturan seseorang, pada petang hari tanggl 30 September itu Pierre masih sempat melihat sebuah pavilyun yang akan dikontrakkan di Jl. Jambu. Waktu itu ia sudah merencanakan untuk berumah tangga, Pierre memang sudah lama menjalin cinta dengan seorang gadis Jawa yang besar dan tinggal di Medan. Gadis itu dikenalnya ketika ia bertugas di sana.

Mengenai hubungan cintanya Pierre menulis surat kepada saya dalam bahasa Jawa, " Mitz, aku wis ketemu jodoku. Wis yo Mitz, dongakake wae mugo-mugo kelakon (Mitz, aku sudah menemukan jodohku. Sudah doakan saja mudah-mudahan tercapai)."

Ketika bertugas tanggal 31 Juli 1965 ke Medan mengikuti perjalanan Pak Nas, Pierre menyempatkan diri menemui kekasih dan calon mertuanya. Dalam pertemuan diputuskan bahwa pernikahan mereka akan dilangsungkan pada bulan November 1965.

Sebenarnya ada hal ganjil yang tidak pernah dilakukan Pierre. Selama ini siapapun yang berulang tahun, dia selalu menyempatkan diri untuk menelepon, jika ia terhalang tugas. Tapi pada tanggal 30 September itu ia tidak menelepon untuk mengucapkan selamat kepada ibu.



Seluruh makam ditutupi anggrek

Setelah diangkat dari sumur di Lubang Buaya dan dibersihkan, jenazah para Pahlawan Revolusi itu dikirim ke RS Gatot Subroto dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat di Jl. Merdeka Utara. Pada tanggal 5 Oktober pemerintah mengirimkan pesawat untuk menjemput keluarga kami di Semarang.

Ketika melihat peti jenazah putranya, ibu menangis dan meratap, " Pierre.. Oh Pierre, mijn jongen, wat is er met jouw gebeurd?" (Pierre, Oh Pierre, anakku, apa yang terjadi dengamu?) ".

Setelah Pierre tiada, gairah dan kesehatan ibu semakin menurun. Dari pemeriksaan medis ternyata kemudian diketahui ibu mengidap kanker. Ia tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa putra tunggalnya itu sudah tiada.

Jika ada penyesalannya datang, ia selalu mempersalahkan saya, saya yang dulu menyokong keinginan Pierre untuk menjadi tentara. Begitu besar rasa kehilangannya, sehingga ibu sering membaca surat-surat yang pernah dikirimkan Pierre semasa belajar di Bandung maupun setelah bertugas. Semua surat itu dikumpulkan dan diurutkannya sesuai tanggalnya.

Keadaan ayah juga tidak jauh berbeda, tapi ia lebih bisa menguasai diri dan berusaha untuk menghibur ibu.

Pada awal sakit ibu masih sempat ke Jakarta untuk berziarah ke makam adik saya terakhir kali. Dari petugas Taman Makam Pahlawan Kalibata kami mengetahui bahwa waktu itu ibu memborong bunga sebanyak-banyaknya sehingga seluruh makam Pierre tertutup dengan anggrek.



"Pierre, aku sudah tidak tahan lagi."

Sekembali ke Semarang kesehatan ibu makin mundur. Pada pertengahan Agustus ibu harus di rawat di RS. Elizabeth.

Suatu ketika, pada waktu adik saya sedang menunggunya, ibu berkata seakan-akan di hadapannya hadir putra kesayangannya itu, "Pierre, ik houd het al niet meer uit (Pierre, aku sudah tidak tahan lagi)," Pada tanggal 19 Agustus 1967 ibu menghembuskan napasnya yang terakhir.

Jauh-jauh hari, ibu sudah berpesan, "Jangan lupa ya, kalau aku meninggal, tolong jenazahku ditutupi dengan selimut yang pernah dipakai Pierre." Maka ketika waktunya tiba, pesan itu kami jalankan. Pada tanggal 19 Juli 1974 ayah pun menyusul ibu dan adik saya.

Setelah kedua orang tua kami meninggal, saya dan adik saya masih rajin menziarahi makam Pierre di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sekitar makam Pierre kami tanami pohon palem yang tumbuh rimbun. Ketika kemudian ada larangan membedakan makam di situ dari yang lain, saya membawa pulang pohon palem dari makam Pierre dan saya tanam di kebun rumah saya di Bogor. Pokoknya, semua yang pernah menjadi milik Pierre akan kami simpan sebagai kenang-kenangan.


Sumber : Majalah Intisari edisi September 1989, koleksi Yulia Sjahriani Harahap
Foto     : Ibu Ita W 


Semoga bermanfaat, terimakasih.

Salam hangat ;)