Wednesday 1 October 2014

MENGENANG PIERRE TENDEAN (Part. I)

4



Seandainya Pierre Tendean masih hidup, tahun ini usianya genap lima puluh tahun. Namun nasib menghendakinya lain. Ia meninggal dalam usia relatif muda. Kakaknya, Ny. Mitzi Farre dan adiknya, Ny. Roos Jusuf Rajak, tetap menyimpan berbagai kenangan. Antara lain bahwa Pierre Tendean pernah menjadi pengemudi traktor.(Intisari,1989)











 Reuni SMA di Jakarta.. Seperti umumnya reuni, banyak sekali kenangan manis yang terungkap. Dalam kegembiraan itu saya juga bertemu dengan teman-teman Pierre dan tiba-tiba saya merasa sedih. Seandainya Pierre masih ada ... Tapi Pierre sudah lama pergi dan namanya kini dipakai untuk nama jalan.




Ulang Tahun Ibu

Tanggal 30 September adalah hari ulang tahun ibu kami. Beberapa hari sebelum tanggal 30 September 1965 Pierre memberi tahu ia tidak bisa pulang ke Semarang untuk merayakan hari itu bersama seluruh keluarga, karena ia harus bertugas sampai siang hari. Pierre adalah seorang ajudan Jenderal A.H Nasution. Ia berjanji akan pulang bersama suami saya keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965.

Tanggal 1 Oktober 1965, ketika suami saya datang menjemput ke rumah Pak Nas di Jl. Teuku Umar, ia heran sekali karena ternyata banyak tentara berjaga-jaga. Suami saya bahkan ditodong dengan senjata ketika memasuki rumah Pak Nas. Pierre tidak ada. Kata salah seorang penjaga, Pierre dan Pak Nas sedang pergi bertugas. Jadi suami saya pun pulang sendiri ke Semarang.

Begitu penuturan Ny. Roos Jusuf Razak, adik Kapten Anumerta Pierre Tendean.

Ternyata hari itu terjadi suatu kudeta oleh PKI, yang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI. Beberapa orang jenderal, dan juga Pierre, menjadi korban keganasan mereka. Berikut ini cerita kakak Pierre, Mitzi.

Sementara itu kami sekeluarga di Semarang tentu saja resah, karena Jenderal Nasution merupakan salah seorang yang diincar oleh manusia-manusia haus darah itu. Saya berusaha mencari informasi ke sana-ke mari.

Pada tanggal 2, 3, dan 4 Oktober radio mulai menyiarkan secara lebih jelas apa yang sebenarnya telah terjadi. Menurut berita, yang menjadi korban tujuh orang. Salah satu di antaranya adalah Lettu CPM Pierre Tendean. Walaupun nama adik saya disebut, saya masih belum yakin 100%, karena adik saya bukan dari CPM, tetapi Zeni.

Tak lama kemudian, telepon berdering. Jenderal Suryo Sumpeno mengabarkan Pierre sudah tiada. Meledaklah tangis kami.



Makan Gaplek

Adik saya, Pierre Andries Tendean, lahir pada tanggal 21 Februari 1939 di CBZ (sekarang RS. Cipto Mangunkusumo). Saya senang memperoleh seorang adik, karena berarti saya mempunyai teman setelah lima tahun bermain sendiri.

Di Jakarta kami tidak tinggal lama, karena ayah seorang dokter, ditugaskan di Tasikmalaya untuk membantu memberantas penyakit malaria. Di sini ayah jatuh sakit. Meskipun belum sembuh betul, ayah bersama keluarganya dianjurkan pindah ke Cisarua. Kemudian ia dirawat di Sanatorium Cisarua. Setelah sembuh ayah diminta untuk bertugas di sana sebagai dokter.

Pada masa inilah saya menyimpan banyak kenangan indah bersama Pierre. Rumah dinas yang kami tempati terasa sangat menyenangkan, dikelilingi gunung, sawah, dan halaman luas yang banyak ditumbuhi pohon murbai dan ceri.
Kalau padi menguning dan musim panen tiba, saya dan Pierre senang bermain-main di sawah. Dari batang padi yang sudah dipotong kami membuat sempritan.

Kemudian ayah dipindahkan ke Magelang, menjabat wakil direktur RS Keramat. Tak lama kemudian Jepang masuk. Kehidupan kami pun semakin sulit. Karena beras sangat mahal, terpaksa kami makan gaplek atau tiwul.

Sebagai kanak-kanak tentu saja saya dan Pierre belum mengerti arti susah yang sebenarnya, Tempat tinggal kami di Magelang juga hampir mirip dengan tempat tinggal kami di Cisarua. Di sini dilatarbelakangi Gunung Sumbing. Kami bisa main sepuas-puasnya, main perahu sampai berkubang di lumpur, piknik ke kebun kopi milik rumah sakit, dan mandi-mandi di pancuran. Semakin dilarang, Pierre semakin tidak mau meninggalkan sungai itu.

Pierre yang waktu itu masih duduk di SD sudah memperlihatkan sifat tanggung jawabnya yang besar terhadap masyarakat di sekitarnya. Jika sedang libur, ia sering membantu kawan-kawannya ke sawah untuk mencari siput, guna menambah lauk-pauk di rumah orang tua mereka.



Berkelahi menggunakan pisau

Pierre mulai masuk sekolah rakyat di Boton, Magelang. Untuk pergi ke sekolah, kami menggunakan dokar rumah sakit (semacam mobil dinas sekarang). Jika sedang dipakai untuk keperluan rumah sakit, terpaksa kami harus berjalan kaki sejauh beberapa kilometer.

Suatu ketika sisa-sisa gerombolan PKI yang terlibat dalam Peristiwa Madiun (1948), merampok keluarga kami dan membawa ayah. Ketika melihat kesempatan untuk melarikan diri, ayah menceburkan diri ke Kali Manggis. Karena malam sangat gelap akhirnya kaki ayah tertembak dan cacat seumur hidup. Kami sekeluarga terpaksa pindah ke Semarang, karena ayah harus dirawat di RS. CBZ (sekarang RS. dr. Karyadi), sehubungan kakinya yang tertembak sampai tulangnya pecah.

Dalam mendidik anak-anaknya ayah agak keras. Kami kenyang merasakan sapu lidi, ikat pinggang, maupun sandal.

Masa SMP dan SMA dilewati Pierre di Semarang. Dalam bersekolah Pierre lancar-lancar saja dan tidak pernah tinggal kelas. Ia juga memperoleh nilai yang baik dalam bahasa Inggris dan Jerman. Hal itu mungkin karena kami selalu berbahasa Belanda di rumah. Ketika masuk SMP dia memperoleh hadiah sepeda dan waktu masuk SMA ia memperoleh sebuah sepeda motor Ducati dari ayah. Ia sangat bangga pada Ducati itu.

Sekitar tahun 1957, sebagai anak muda adik saya itu juga pernah terlibat perkelahian antar sekolah dengan menggunakan pisau, sampai ada bekas luka di tangannya. Namun, dalam bergaul Pierre bisa menerima dan diterima di segala macam kalangan. Dari anak-anak para karyawan rumah sakit dan mantri, sampai tukang becak pun jadi.





Robert Wagner dari Panorama



Selesai SMA Pierre ingin melanjutkan pendidikan ke AMN di Bandung. Saya menyokong niatnya. Sebenarnya ayah ingin putra tunggalnya itu bisa melanjutkan tugasnya sebagai dokter. Menanggapi hal itu Pierre mengatakan, "Ah, dokter itu apa. Dokter iku mung bisa nambani borok (Dokter hanya bisa menyembuhkan luka)." Sementara ibu menginginkan putra kesayangannya itu menjadi insinyur.



Untuk tidak mengecewakan kedua orang tua kami, saya menyarankan Pierre untuk mengikuti tes masuk kedokteran di Jakarta dan ITB Bandung tanpa mengerjakan soal-soalnya. Akhirnya dia berhasil masuk ke AMN. Pak Nas menyarankan agar Pierre mengambil jurusan teknik, yaitu ATEKAD, dengan pertimbangan nanti ia bisa melanjutkan ke ITB atau fakultas teknik. Hubungan keluarga kami dengan kedua mertua Pak Nas di Bandung memang sangat erat, sampai Pierre menganggap mereka mereka orang tuanya sendiri.



Sebagai taruna ia memperoleh uang saku. Kadang-kadang ia menulis surat kepada ibu, "Seandainya Mami memiliki uang belanja lebih, tolong kirimi saya, karena saya ingin membeli film."



Sebagai taruna dan olahragawan yang memiliki bentuk badan yang atletis dan roman muka yang tampan, Pierre selalu menjadi pusat perhatian para gadis ramaja. Oleh gadis-gadis Bandung Pierre dijuluki Robert Wagner dari Panorama. Robert Wagner adalah bintang film Amerika yang terkenal, sedangkan Panorama adalah nama tempat pendidikan ATEKAD di Bandung.







Pada waktu pemberotakan PRRI meletus, Februari 1958, Pierre masih menjadi taruna. Setelah mendapat latihan dasar kemiliteran dan berbagai macam teori dan kecakapan militer lainnya, ia bersama kawan-kawan seangkatannya dikirim ke Sumatra untuk menghadapi PRRI. Itu merupakan suatu latihan praktek lapangan serta pengalaman militernya yang pertama.

Tahun 1962 Pierre lulus dari ATEKAD dengan nilai sangat memuaskan. Saya sendiri menghadiri pelantikannya, Ketika Dwikora dicetuskan, segera Pierre yang berpangkat letnan dua itu ditugaskan sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II Bukit Barisan di Medan. Tahun 1963 ia mendapat panggilan untuk masuk Sekolah Intelijen di Bogor. Selama pendidikan itu ia ditugaskan untuk memimpin suatu kelompok sukarelawan yang akan mengadakan penyelundupan ke daerah Malaysia. Ia berhasil menyusup tiga kali. Pada penyusupan yang ketiga kalinya speedboat yang ditumpanginya bersama anak buahnya dikejar sebuah kapal Inggris. Untuk menyelamatkan diri, ia bersama anak buahnya terjun dan berenang ke arah perahu nelayan. Dengan bergantungan dan seluruh badan terbenam dalam air, akhirnya mereka bisa melepaskan diri dari sergapan musuh.


Suka sambal bajak

Ketika sering menyelundup ke Malaysia itulah Pierre sempat berbelanja. Masing-masing anggota keluarga mendapat oleh-oleh. Saya mendapat sebuah T-shirt merah biru dan raket tenis yang masih saya simpan sampai sekarang. Kami berdua memang mempunyai beberapa hobi yang sama dalam musik, film, maupun olahraga. Ayah dibelikan sebuah jam tangan dan rokok Commodore. Sedangkan untuk dirinya sendiri Pierre membeli sebuah jam tangan, jaket, dan pakaian dalam. Saya selalu ingat pesannya saat ia memberikan raket itu kepada saya, "Ojo didol, lho (jangan dijual, ya)." Barang-barang itu dibeli Pierre dengan uang sakunya. Waktu itu ia memperoleh uang saku yang lumayan besar, karena tugasnya mengandung resiko besar.

Di mana pun ia berada, Pierre selalu menyempatkan diri untuk mengirim surat, baik kepada orang tua kami, maupun saya dan adiknya.

Dalam sebuah surat Pierre menceritakan bahwa ia selalu dijadikan penerjemah oleh atasannya kalau ada tamu dari kapal asing di Pelabuhan Belawan, " Waktu-waktu begitu aku selalu bisa makan enak." ceritanya.

Jika kebetulan sedang libur Pierre selalu menyempatkan diri pulang ke Semarang. Jika tahu Pierre akan pulang, ibu selalu sibuk menyediakan makanan kegemarannya yaitu kue sus, sirup manis, ayam panggang, dan sambal bajak, sampai-sampai semasa masih di ATEKAD ia selalu minta dikirimi kalau ada kenalan yang kebetulan ke Bandung.


Jadi pengemudi traktor

Pada saat itu Pierre sudah tahu bahwa ia akan dijadikan ajudan Pak Nas menggantikan Kapten Manulang yang gugur dalam menjalankan tugasnya di Kongo. Ibu merasa senang. Soalnya, selama ini ia tidak pernah bisa tenang memikirkan putranya ini, yang sering tidak diketahui tempat tugasnya. Dari keempat ajudan Pak Nas, Pierre-lah yang termuda.

" Pierre Tendean adalah seperti adik kandung bagi saya dan istri saya. Mungkin sekali karena pengaruh sayalah ia menjadi taruna, karena orang tuanya sebenarnya semula tidak setuju. Ia tinggal di rumah saya sebagai salah seorang anggota keluarga biasa," tulis Jenderal (Purn.) A.H Nasution dalam Buku Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid VI.




Berlawanan dengan ibu, Pierre merasa lebih suka bertugas di lapangan. Maka ia pun mengajukan syarat, " Aku cuma mau bertugas sebagai ajudan selama setahun. Tidak lebih. Kalau diperpanjang, aku akan menghadap Kasad (yang waktu itu dijabat oleh Jenderal A. Yani) untuk minta pindah." katanya. Ternyata Pierre harus bertugas enam bulan, ketika peristiwa yang merenggut nyawanya itu terjadi.

Pada waktu menjadi ajudan Pak Nas, Pierre berpangkat letnan satu. Untuk menambah gajinya, setiap malam ia menjadi pengemudi traktor di Monas untuk meratakan tanah jadi satu. Waktu itu Monas belum jadi. Dan hasilnya, Pierre ingin memiliki TV yang sudah dipesannya. Waktu itu barang masih sulit diperoleh, sehingga harus pesan dulu kalau mau beli.



"Aku titip adikku, Mas."

Waktu adik saya menikah dengan Jusuf Razak, Pierre memberikan uang dibungkus dengan koran kepada ibu, " Mam, ini sumbangan saya untuk pernikahan Roos," katanya. Uang itu rupanya gaji yang dikumpulkannya selama tugas Dwikora. Dari dolar, uang itu dirupiahkannya, sehingga kelihatan banyak.


Jika ingat waktu menikah, Roos selalu ingat pada saat ia saling berpandangan dengan almarhum.

Ada satu hal yang tidak pernah bisa saya lupakan pada waktu pernikahan saya itu. Sebagai kakak tentu saja Pierre menasehati saya. Ia juga menanyakan apakah saya memang sudah siap untuk berumah tangga. Saya menikah pada tanggal 2 Juli 1965. Ketika harus menandatangani surat nikah, Pierre menangis memeluk saya dan saya pun menangis di dadanya. Untuk beberapa saat saya tidak sanggup menandatangani surat nikah itu. Kepada suami saya ia mengatakan, "Mas, aku titip adikku dan tolong jaga dia." Itulah terakhir kalinya saya bertemu dengan Pierre.

-Mitzi, kakak Pierre masih sempat bertemu adik laki-lakinya sebulan sebelum peristiwa berdarah itu terjadi.-

Pada waktu itu saya akan kembali ke Semarang dan Pierre mengantar saya ke Stasiun Gambir. Ketika dia mencium saya, pipinya terasa dingin, karena waktu itu masih pagi. Pierre  menggunakan celana hijau dari bahan teteron dengan kemeja berwarna kecoklatan. Saya tak akan pernah melupakan lambaian tangannya ketika kereta yang saya tumpangi bergerak menjauh. Rupanya itulah lambaian tangan terakhir sebagai tanda perpisahan kami selama-lamanya. Namun, melaui telepon kami masih sempat berhubungan satu kali lagi.

Menurut penuturan seseorang, pada petang hari tanggl 30 September itu Pierre masih sempat melihat sebuah pavilyun yang akan dikontrakkan di Jl. Jambu. Waktu itu ia sudah merencanakan untuk berumah tangga, Pierre memang sudah lama menjalin cinta dengan seorang gadis Jawa yang besar dan tinggal di Medan. Gadis itu dikenalnya ketika ia bertugas di sana.

Mengenai hubungan cintanya Pierre menulis surat kepada saya dalam bahasa Jawa, " Mitz, aku wis ketemu jodoku. Wis yo Mitz, dongakake wae mugo-mugo kelakon (Mitz, aku sudah menemukan jodohku. Sudah doakan saja mudah-mudahan tercapai)."

Ketika bertugas tanggal 31 Juli 1965 ke Medan mengikuti perjalanan Pak Nas, Pierre menyempatkan diri menemui kekasih dan calon mertuanya. Dalam pertemuan diputuskan bahwa pernikahan mereka akan dilangsungkan pada bulan November 1965.

Sebenarnya ada hal ganjil yang tidak pernah dilakukan Pierre. Selama ini siapapun yang berulang tahun, dia selalu menyempatkan diri untuk menelepon, jika ia terhalang tugas. Tapi pada tanggal 30 September itu ia tidak menelepon untuk mengucapkan selamat kepada ibu.



Seluruh makam ditutupi anggrek

Setelah diangkat dari sumur di Lubang Buaya dan dibersihkan, jenazah para Pahlawan Revolusi itu dikirim ke RS Gatot Subroto dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat di Jl. Merdeka Utara. Pada tanggal 5 Oktober pemerintah mengirimkan pesawat untuk menjemput keluarga kami di Semarang.

Ketika melihat peti jenazah putranya, ibu menangis dan meratap, " Pierre.. Oh Pierre, mijn jongen, wat is er met jouw gebeurd?" (Pierre, Oh Pierre, anakku, apa yang terjadi dengamu?) ".

Setelah Pierre tiada, gairah dan kesehatan ibu semakin menurun. Dari pemeriksaan medis ternyata kemudian diketahui ibu mengidap kanker. Ia tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa putra tunggalnya itu sudah tiada.

Jika ada penyesalannya datang, ia selalu mempersalahkan saya, saya yang dulu menyokong keinginan Pierre untuk menjadi tentara. Begitu besar rasa kehilangannya, sehingga ibu sering membaca surat-surat yang pernah dikirimkan Pierre semasa belajar di Bandung maupun setelah bertugas. Semua surat itu dikumpulkan dan diurutkannya sesuai tanggalnya.

Keadaan ayah juga tidak jauh berbeda, tapi ia lebih bisa menguasai diri dan berusaha untuk menghibur ibu.

Pada awal sakit ibu masih sempat ke Jakarta untuk berziarah ke makam adik saya terakhir kali. Dari petugas Taman Makam Pahlawan Kalibata kami mengetahui bahwa waktu itu ibu memborong bunga sebanyak-banyaknya sehingga seluruh makam Pierre tertutup dengan anggrek.



"Pierre, aku sudah tidak tahan lagi."

Sekembali ke Semarang kesehatan ibu makin mundur. Pada pertengahan Agustus ibu harus di rawat di RS. Elizabeth.

Suatu ketika, pada waktu adik saya sedang menunggunya, ibu berkata seakan-akan di hadapannya hadir putra kesayangannya itu, "Pierre, ik houd het al niet meer uit (Pierre, aku sudah tidak tahan lagi)," Pada tanggal 19 Agustus 1967 ibu menghembuskan napasnya yang terakhir.

Jauh-jauh hari, ibu sudah berpesan, "Jangan lupa ya, kalau aku meninggal, tolong jenazahku ditutupi dengan selimut yang pernah dipakai Pierre." Maka ketika waktunya tiba, pesan itu kami jalankan. Pada tanggal 19 Juli 1974 ayah pun menyusul ibu dan adik saya.

Setelah kedua orang tua kami meninggal, saya dan adik saya masih rajin menziarahi makam Pierre di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sekitar makam Pierre kami tanami pohon palem yang tumbuh rimbun. Ketika kemudian ada larangan membedakan makam di situ dari yang lain, saya membawa pulang pohon palem dari makam Pierre dan saya tanam di kebun rumah saya di Bogor. Pokoknya, semua yang pernah menjadi milik Pierre akan kami simpan sebagai kenang-kenangan.


Sumber : Majalah Intisari edisi September 1989, koleksi Yulia Sjahriani Harahap
Foto     : Ibu Ita W 


Semoga bermanfaat, terimakasih.

Salam hangat ;)

4 comments:

  1. Cerita sejarah seorang pahlawan yang sangat berarti buat kita semuanya dan sangat menyentuh perasaan..

    ReplyDelete
  2. nyakit banget kisahnya. Pierre Tendean bener2 pribadi yg spesial. dan jgn sampe keulang lagi kejahatan PKI

    ReplyDelete
  3. Saya baru tahu Lettu Pierre Tendean dr Atekad Bandung.panorama yang sekarsng jadi SECAPA( sekolah calon perwira) kebetulan saya warga bandung yang tinggal di panorama bersebelahan dengan barak ny

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah, bisa napak tilas dong kl gitu .. ayoo bikin ceritanya buat kita-kita ^^

      Delete