Saturday 30 August 2014

Menikmati Jl. Imam Bonjol, Semarang

0

Beberapa minggu yang lalu, saya dan teman-teman saya sibuk berencana liburan ke Semarang. Sebenarnya saya dan teman-teman saya tak satupun yang pernah datang ke kota Semarang. Yang kami tahu dari Semarang hanya Lawang Sewu dan Simpang Lima.

Beruntunglah kami karena salah satu dari kami memiliki teman di Semarang yang bersedia mengantar kami berkeliling kota Semarang. Mengantar ke hotel, serta menjemput kemanapun kita ingin menghabiskan waktu.

Semarang, ternyata panas membara. Saya pikir Jakarta serta perbatasannya adalah tempat terpanas yang pernah saya keluhkan. Tapi Semarang, khususnya Semarang bawah, sanggup membuat saya merasa haus berkepanjangan.

Well, acara berkelana di Semarang kita lalui sesuai rencana. Hanya saja soal makanan di Semarang kurang cocok dengan hobby kami yang suka kuliner pedas. Masalah harga hampir sama dengan Jakarta dan sekitarnya. Tahu gimbalnya juga enak, dengan es kelapa muda yang benar-benar sanggup membereskan masalah kehausan saya.

Sebelum pulang, setelah singgah di hotel untuk istirahat sebelum kembali ke Jakarta, saya sengaja mengajak teman saya untuk menikmati Semarang di sore hari. Kebetulan kami menginap di salah satu hotel di Jl. Imam Bonjol. Yang saya pernah baca bahwa rumah keluarga dari Pierre Tendean berada di jalan tersebut. Jadi hitung-hitung menikmati jalan yang mungkin pernah dilewati oleh pahlawan tersebut.

Jl. Imam Bonjol terletak di daerah Poncol. Kondisi jalan yang ramai, pepohonan yang masih lumayan banyak dan besar-besar, serta bangunan-bangunan tua yang hampir rusak menemani perjalanan sore kami. Sedang asik bercengkrama menikmati sore sambil berjalan kaki, ternyata kami harus melewati seseorang yang sedang duduk, tanpa berpakaian, dan berbicara sambil tertawa tanpa ada lawan bicara.

Saya dan teman saya -Iedha- kalut, tak tau apa yang harus kami perbuat. Kami seperti tersesat dalam kehidupan lain. Penampakan kami saat itu seperti sepasang kekasih yang tak ingin melepaskan satu sama lain. Tubuh kami merapat, jari jemari kami bersatu dalam genggaman. Kaki-kaki kami melemah seperti lilin yang terbakar, jantung kami seperti bedug saat malam takbir. Kami berdiam diri kami sungguh tak sanggup, kami ingin berlari pun sungguh di luar kuasa kami.

Sedangkan seseorang di hadapan kami -laki laki tak berpakaian- terus memandangi kami, memanggil manggil kami dengan sapaan, "mbak, mbak, mbak". Tangannya terjulur-julur. Semua keberanian kami sirna, meluluh semua kekuatan sampai daya terakhir. Kami mencoba tetap berjalan dengan kaki-kaki gemetar. Sambil berpura-pura tidak melihat orang tersebut, dan sesegera mungkin kami memanggil becak.

Saya rasa saya kapok untuk berjalan kaki lagi lain kali jika saya ke jalan itu. Mungkin saja Pierre Tendean pernah berjalan kaki di jalan itu, tapi saya rasa laki-laki-setengah-tua-yang-tak-berpakaian-dan-bicara-sendiri itu belum ada. Atau mungkin ada dalam versi lain ? Hhmm, bisa jadi.

Tapi Jl. Imam Bonjol masih memberikan kesan tersendiri bagi saya. Lain kali saya tulis lagi peninggalan rumah bekas keluarga Pierre Tendean di Semarang.

Salam hangat 😻😻

0 comments:

Post a Comment