Wednesday 22 July 2015

We Never Know What Will Happen

16

Kata-kata itu yang selalu terulang-ulang dari mulutnya. Walau usianya sudah hampir seabad, tapi pesona dan ingatannya tentang masa lalu masih memancarkan semangat yang tak redup.

Pagi itu setelah selesai segala urusan saya di kota tersebut, saya berniat untuk segera kembali ke Jakarta. Tapi seperti ada rasa penasaran ingin berjalan lebih jauh lagi mengingat jalanan pagi yang masih lenggang dan udara yang masih sejuk hangat. Berhubung Ramadhan dan sendirian, saya tak dapat berkuliner pagi di sana.

Tak sulit untuk sampai di tempat yang lama sudah ingin saya kunjungi.Ternyata ada dua orang warga yang dengan senang hati mengantarkan saya menemui empunya rumah, mereka juga sempat bercerita bahwa sering ada anak-anak atau orang dewasa main dan bertamu di rumah tersebut untuk bermain gamelan, menari, atau bercengkrama dengan si pemilik rumah. Senangnya diantar oleh orang yang sering datang ke rumah tersebut.

Setelah dibantu untuk mengetuk pintu pagar, tak lama keluarlah empunya rumah yang sudah sangat penasaran sekali ingin saya ketahui keadaannya. Ah, dia menyambut baik rupanya. Ibu Mitzie !!! Saya sempat tertegun melihat keadaannya yang benar-benar masih dalam keadaan segar bugar. Rambutnya hitam pendek, kulitnya putih khas Eropa parsial, matanya biru ke-abu-abuan, dan garis di wajahnya masih menyisakan pesona kecantikan yang beliau miliki sampai di usianya saat ini. Beliau menyapa dua orang yang mengantar saya dengan menggunakan Bahasa Jawa.

" Lho iki sopo iki? Kamu orang dari film itu , yaa?", beliau bertanya kepadaku. Saya jelaskan bahwa saya hanya ingin datang berkunjung melihat keadaan beliau dan bercerita tentang kerinduan pada adiknya, Pierre Tendean. Saya memperkenalkan diri dan bersenda gurau menggunakan Bahasa Jawa dengan Ibu Mitzie, gaya bahasanya santai dan tidak kaku. Seperti telah mengenal lama dengannya, lalu Ibu mempersilakan saya masuk untuk melihat-lihat halaman rumahnya.

Berkeliling di halaman rumahnya yang besar seperti kembali ke masa lampau, dengan latar bangunan khas Belanda dan rimbunnya pepohonan. Terdapat juga kolam ikan koi lengkap dengan air mancur. Setelah berkeliling, ibu masuk untuk berganti pakaian lalu menyambut saya di beranda depan rumahnya. Ibu Mitzi menjelaskan tentang bangunan rumahnya, Bangunan Belanda yang sudah menjadi cagar budaya, sering dijadikan tempat untuk pengambilan gambar atau film.

Saya tidak menyangka dapat sambutan begitu hangat dari beliau, walaupun saya tahu pasti bahwa ia tidak mengenal saya dengan baik, dan bahkan ini adalah kali pertama kami bertemu. Dari beranda saya dapat melihat banyak foto-foto dari Pierre Tendean terpajang di dinding rumahnya. Hal tersebut membuat saya tak sabar ingin segera masuk ke bagian dalam rumahnya.

Foto di dinding dalam rumah.

Foto di dinding dalam rumah.

Foto di dinding dalam rumah.


Ibu sangat bersemangat dalam bercerita, sepertinya beliau memang orang yang ramah terhadap siapapun. Setelah memasuki pintu rumahnya, beliau senang sekali menceritakan tentang foto-foto yang beliau pajang. Ungkapan kekaguman saya tak henti-henti terlontar saat memandang foto-foto yang masih dalam keadaan bagus. Berkali-kali ia bilang "Mesak ake, ya? ( kasian, ya), yah begitu.". Masuk ke dalam rumahnya seperti memasuki sebuah museum. Bangunan dengan langit-langit tinggi, pintu dan jendela khas bangunan tempo dulu, serta lantai marmer yang ia ceritakan didatangkan langsung dari Italia pada abad ke-18.


Bagian dalam rumahnya seperti sebuah lorong, di sebelah kanan ada pintu untuk masuk ke ruang tamu dengan kursi ukir dan pajangan-pajangan, saya dipersilakan masuk dan melihat-lihat foto yang ada di ruangan tersebut. Foto keluarga, foto pernikahan beliau, foto Pak Pierre, sampai foto pernikahan putra semata wayangnya.

Bertemu dengan pelaku sejarah membuat saya betah berlama-lama bercengkrama dengan Ibu Mitzie, tak segan ia menceritakan kehidupan pribadi dari sang adik sampai koleksi foto-foto unpublished yang menurut saya tak cukup waktu untuk menceritakan semua susunan gambar yang sudah tertata rapi di album tersebut. Koleksi fotonya banyak sekali, dari masa anak-anak hingga dewasa yang dibuat seperti buku perjalanan hidup. Ibu Mitzie bercerita bahwa sebagian besar dari foto-fotonya tersebut adalah kiriman dari Kapten Pierre Tendean masa itu. Senangnya beliau mengijinkan saya untuk mengambil foto dari gambar yang sudah ada. Tapi sayangnya beliau berpesan untuk tidak menyebarluaskan foto-foto Pierre Tendean yang diambil bersama orang lain karena alasan menghormati pihak lain tersebut.

Saya selalu terpukau dengan cerita dari Ibu Mitzie, kami bercerita seakan teman lama sekali yang sedang bertemu rindu (sok akrab deh :p). Tanpa diminta ibu juga mengeluarkan koleksi lainnya yang masih ia simpan dari Pak Pierre. Kaos berkerah, celana jeans merk LEE, juga ikat pinggang. Saya diperkenankan untuk memegangnya, memeluknya (well, ini berlebihan), juga mengabadikannya.


Celana Jeans Milik Pierre Tendean

Hanya itu saja yang dapat saya berikan untuk para pecinta yang penasaran dengan benda kenangan Pak Pierre Tendean yang saat ini masih disimpan dengan baik oleh Ibu Mitzie. Saya juga tidak tahu apakah saya dapat izin untuk mempublikasikan lebih banyak jika berkesempatan mengabadikan gambar beliau lagi. We never knew what will happend, right?. Tapi semoga beliau berkenan dengan foto yang saya share kali ini. Karena memang foto-foto Pierre Tendean yang saya share di sini sudah pernah ada di majalah-majalah tempo dulu yang sudah terbilang rare untuk kita temukan saat ini.

Disela-sela bercerita Bu Mitzie banyak berpesan salam bahasa Jawa campur Inggris, "You ojo melu-melu, ya? Be careful of yourself, don't really trust with everyone. Wes wes pokoke ojo melu-melu."
Tanpa terasa hari semakin siang dan saya tidak akan membuatnya kelelahan dengan tamu tak diundangnya. Saya berpamitan, tetap terulang-ulang kata-kata dari bibirnya,"Ojo melu-melu, ya. We never knew what will happen."

Sebenarnya masih ingin berlama-lama mendengar ceritanya, tapi hari semakin siang dan saya tidak akan mengganggu waktu istirahat siangnya. Diantarnya saya sampai dibukakan pintu gerbang, pintu yang selalu ditutup rapat-rapat dan hanya beliau sendiri yang tinggal di dalamnya. Seperti ingin mengasingkan diri dari perjalanan masa. Saat berpamitan beliau masih saja berpesan untuk berhati-hati. Saat saya berjalan menjauh dari gerbangnya, saya mencoba untuk menoleh, dan ternyata Ibu Mitzie masih menatap saya dari depan gerbangnya. Sampai saya berada di ujung jalan, saya lihat pula bayangannya menghilang.
Sungguh terbayar rasa sejuta rindu saya terhadapnya. And you know ? We will never knew what will happen, right? ;)


Semoga Ibu sehat selalu ya ..
Salam hangat ;)






16 comments:

  1. Wah,keren.. ^^.Sepertinya sangat menyenangkan bisa melihat dan mendengar cerita langsung dari orang terdekat beliau. :)
    Semoga bu Mitzie sehat selalu...Terus,apa mbak mengambil foto bu Mitzie yg sekarang?Atau mungkin bu Mitzie sendiri tidak mengizinkan untuk di foto?
    Tetap semangat menuli ya,mbak... :D ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih, Virgin sudah menyempatkan membaca dan berkomentar ^^,
      Aamiin, semoga ya beliau selalu dalam keadaan yang kita harapkan :)
      Alhamdulillah Ibu Mitzie mengijinkan untuk mengambil foto2 Pak Pierre, hanya saja beliau berpesan untuk tidak mempublikasikan foto-foto yang diambil bersama-sama dengan rekan Pak Pierre. :)
      Untuk foto beliau sendiri, dia belum berkenan difoto untuk saat itu karena alasan belum mandi. hihihihi ..
      Semangatttt !!!
      makasih, Virgin ;)

      Delete
    2. Sama-sama mbak ^^
      Saya tunggu tulisan selanjutnya,ya.. ;) :D

      Delete
  2. Kalau boleh tahu dimana alamat ibu mitze? Saya juga ingin berkunjung ke kediaman beliau. Kalau keberatan untuk dipublikasikan, mohon sekiranya dikirim via email ke hikmat_kurniamail@yahoo.com terima kasih sdh berbagi..

    ReplyDelete
  3. Wah salut, mbak berdedikasi sekali sebagai penggemar :) kalo mbak ada kesempatan mengunjungi Ibu Mitze lagi, tolong sampaikan salam saya (dan kami fans Pak Pierre). Moga2 selalu sehat dan bahagia selalu untuk Bu Mitze. Jd pengen sowan jg deh. Semoga ada kesempatan dan keberanian.

    ReplyDelete
  4. hallo mba Bonsay, terimakasih sudah sempatkan mampir dan baca tulisan aku ^^„
    aamiin aamiin aamiin, semoga Ibu Mietzi selalu dalam keadaan yang diinginkan oleh para penggemar Pak Pierre, yaa ^^…
    InshaaAllah, semoga aku bisa sowan lagi ke rumah beliau. Hihii ..
    Salam kenal ya, mba ^^

    ReplyDelete
  5. Wah seneng sekali lagi menemukan blog ini,boleh tau tidak alamat nya ? Karena bulan depan ingin ke Semarang. Ingin sekali,melihat sejarah kapten Pierre.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo Mba Rianti, senang sekali sudah singgah dan menyempatkan membaca, terimakasih atas dukungannya.
      untuk alamat, mba bisa buka http://lisnafull.blogspot.com/2014/09/rumah-keluarga-pierre-tendean-di.html?m=0 , sudah saya tulis juga ^^

      Delete
  6. wah baru baca yang ini, kaka keren bgt
    iri sm kaka bisa berkunjung :(

    ReplyDelete
  7. kerennnn..jadi pengen mampir kerumah ibu mitze.kalo ada waktu dan kesempatan...

    ReplyDelete
  8. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  9. Bukannya rumah Ibu Mitzi sudah jadi kantor sebuah pemerintahan ya?

    ReplyDelete
  10. Hallo Mb Lisna, salam kenal. Saya ingin menanyakan maksud pesan Bu Mitzi itu apa ya? "You ojo melu-melu, ya? Be careful of yourself, don't really trust with everyone. Wes wes pokoke ojo melu-melu."
    Ojo melu2 siapa&perbuatan yg bgmn? Kayaknya ada kekhawatiran. Apakah msh ada fakta sejarah yg lain?

    ReplyDelete
  11. Halo mba, slm kenal :)
    Boleh minta alamat Bu Mitze ? Lewat email saya : melanyrisa@gmail.com
    Mksh mba

    ReplyDelete
  12. Boleh minta alamat bu mitze, kebetulan saya orang semarang, ingin melihat lebih detail, lwt pamungkas.aditia@gmail.com trimakasih

    ReplyDelete